Santri, Reproduksi dan Seksualitas

Oleh: Achmad Dahri
“Santri juga remaja!” Ungkapan tersebut mengandung harapan akan terbukanya kesadaran masyarakat luas bahwa santri yang notabene adalah remaja usia 13-25 tahun juga mengalami problematika kesehatan seperti remaja pada umumnya.
Masa remaja merupakan periode transisi termasuk dalam aspek reproduksi manusia, karena pada masa ini remaja mulai menyadari adanya perubahan terkait perubahan dari sisi bilogis, psikologis dan sisi pedagogis pada dirinya, tertarik pada urusan reproduksi, mengeksploitasi sensasi yang dirasakan dan mengalami masa pengenalan indentitas seksual dan orientasi seksual mereka. Ibarat buah, remaja adalah buah yang sedang ranum.
Bahasan terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan pesantren telah banyak terkandung dalam Alqur’an, hadis dan ijma’ para ulama. Namun demikian, perlu diperkaya dengan perspektif kesehatan sehingga dapat memperkuat penekanan pada substansi materi kesehatan reproduksi dan seksualitas, membangun sikap kritis atas perilaku yang keliru, dan membangun sikap yang bertanggungjawab atas hak dan kewajiban reproduksi, tanpa menimbulkan sikap permisif terhadap berbagai macam aktivitas seksual di kalangan santri yang diberi materi kesehatan reproduksi dan seksualitas.
Pembahasan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas seringkali terkendala oleh rasa tabu dan diskriminasi gender yang masih kental di masyarakat. Padahal pemberian informasi yang komprehensif diperlukan untuk mencegah rasa ingin tahu remaja yang dapat berakibat pencarian alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media internet yang tidak semuanya menyuguhkan informasi secara benar.
Informasi yang tidak lengkap terkait reproduksi dan seksualitas pada kalangan remaja justru berpotensi menjadikan mereka salah dan tidak bertanggung jawab dalam perilaku seksual. Unsur ketabuan dalam pembelajaran reproduksi dan seksualitas seringkali muncul karena reproduksi disalahartikan hanya tentang hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, sedangkan dalam arti luas Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas sebenarnya adalah pemberian informasi terkait fertilitas, kehamilan, perawatan anak, kesehatan gineakologis, aktivitas seksual serta sumber daya untuk melaksanakan keputusan-keputusan secara aman dan efektif secara mandiri oleh para remaja.
Dalam perspektif yang lebih luas, pembelajaran tentang reproduksi dapat dihubungkan dengan issu terkait kebijakan program, gender dan budaya yang dikemas bersama ilmu ke-Islam-an yang selama ini dijunjung di kalangan pesantren.
Kontroversi mengenai beberapa topik sensitif terkait kesehatan reproduksi juga masih banyak diperdebatkan, diantaranya mengenai kondom sebagai salah satu cara pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Seringkali sosialisasi pencegahan penularan penyakit menggunakan kondom dilarang karena dianggap melegalkan perzinahan atau dikhawatirkan disalahgunakan oleh pasangan di luar nikah.
Pandangan tersebut sebaiknya dikaji kembali dengan pendekatan solutif yang menggunakan kaidah fiqhiyyah yaitu : “memilih bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya untuk mencegah sesuatu yang lebih membahayakan”.
Dalam hal ini, sosialisasi pemakaian kondom sebagai salah satu pencegahan penyakit akan lebih ringan bahayanya dibandingkan melarang penggunaan kondom sama sekali. Meskipun tidak menutup kemungkinan bisa saja disalahgunakan, tetapi tidak bisa digeneralisir dengan suatu kemungkinan yang belum terjadi. Sedangkan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang terinfeksi penyakit pasti akan menyebabkan terjadinya penularan padahal sebenarnya bisa dicegah melalui pemberian informasi pencegahan penyakit dengan menggunakan kondom.
Dibalik kompleksnya berbagai masalah kesehatan yang dialami, pesantren sebagai salah satu elemen pendidikan yang memandang semua kegiatan kehidupan dengan hukum agama idealnya mampu menjadi agen pembangunan nasional di bidang kesehatan.
Untuk menciptakan iklim pesantren yang mendukung pemberdayaan masyarakat terkait upaya pendidikan kesehatan reproduksi, terdapat dua hal pokok yang perlu menjadi komitmen bersama semua elemen yaitu penerimaan pondok pesantren terhadap kebijakan kesehatan reproduksi dan pengembangan struktur.
Terkait kebijakan, jika semua elemen dapat menerima pentingnya masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas maka dukungan untuk membudayakan nilai kesehatan akan lebih mudah dianut secara kolektif. Selanjutnya, karena kesehatan reproduksi banyak berkaitan dengan perilaku keseharian maka perlu dilakukan pendampingan dan pengawasan terus-menerus untuk menjamin kesinambungan program.
Pengembangan struktur dan pengelolan program kesehatan reproduksi di pesantren dijalankan melalui Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang ramah remaja. Melalui inisiasi program terkait kesehatan reproduksi dari pemerintah di kalangan pesantren yang disesuaikan dengan sistem nilai keagamaan yang ada, diharapkan status kesehatan lebih meningkat dan hak kesehatan reproduksi santri di pesantren lebih terpenuhi. (*)
Achmad Dahri, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi Kepanjen Malang.