Prof Ahmad el-Tayeb: Al-Azhar dan NU Punya Misi dan Tantangan Sama

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj berbincang santai dengan Grand Shaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Mohamed Thayyeb di ruang kerjanya (santrinews.com/ist)
Kairo – Grand Sheikh Al-Azhar, Prof Dr Ahmad Mohamed Al-Tayeb, menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama dan Al-Azhar memiliki misi yang sama, dan saat ini Al-Azhar sebagaimana Nahdlatul Ulama juga mendapat tantangan yang memerlukan kerja keras untuk menghadapinya.
Hal itu disampaikan Mohamed Al-Tayeb kepada Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di sela-sela Konferensi Internasional Kebebasan, Kewarganegaraan, Keragaman, dan Persatuan, di Al-Azhar di Kairo, Mesir, Kamis, 2 Maret 2017.
Menurut Mohamed Al-Tayeb, Al-Azhar bisa bertahan hingga seribu tahun lebih antara lain karena senantiasa merangkul semua golongan, berusaha menjadi penengah setiap konflik antargolongan, dan menempatkan risalah Islam yang moderat dan toleran.
Posisi itu, kata dia, tidak jarang disalahpahami oleh kelompok-kelompok yang tidak punya iktikad baik terhadap persatuan Islam. Tidak jarang kebijakan yang dikeluarkan oleh Al-Azhar ditentang oleh kelompok-kelompok Islam yang tak sependapat.
“Kelompok yang keras menuduh Al-Azhar liberal, sementara kelompok liberal menuduh Al-Azhar radikal. Tetapi itulah risiko posisi di tengah, moderat, banyak yang ingin menarik ke kiri atau ke kanan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, KH Said Aqil Siroj menyampaikan bahwa Indonesia saat ini mendapat tantangan yang cukup besar, khususnya dengan maraknya kelompok-kelompok Islam yang beraliran liberal dan radikal.
Dua kelompok ini disebutnya terus berupaya untuk menyudutkan penganut ahlussunnah wal jamaah yang moderat dan berusaha membawa mayoritas umat Islam kepada radikalisme dan liberalisme.
“Untuk itu, Nahdlatul Ulama sebagai salah satu benteng ahlussunah waljamaah terbesar di Indonesia selalu berupaya untuk merangkul semua kelompok agar kembali kepada Islam yang penuh rahmat, Islam yang penuh kasih sayang,” katanya.
Padahal, menurut Kiai Said Aqil, di Indonesia kehidupan umat cukup rukun dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kalaupun belakangan ini ada kelompok garis keras bahkan terlibat terorisme berbau agama, hal itu terjadi karena pengaruh dari luar Indonesia.
“Saya sampaikan bahwa radikalisme di Indonesia itu impor, terutama dari Timur Tengah, dan para peserta seminar membenarkannya, tidak ada yang membantah,” ujarnya. (rus/ant)