Reuni 212, Merayakan Kejahatan Berbungkus Agama

Aktivis HTI Jawa Timur saat Aksi Bela Islam (santrinews.com/ist)

Di tengah perpecahan internal, alumni 212 tetap akan menggelar Reuni Akbar 212 di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Ahad, 2 Desember 2018. Berbagai persiapan telah dilakukan panitia. Sisi lain, sejumlah tokoh penting alumni 212 satu per satu mengundurkan diri.

Reuni 212 adalah peringatan Aksi Bela Islam yang terjadi di tempat dan tanggal yang sama pada 2016 silam. Saat itu jutaan muslim turun ke jalan menuntun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diproses hukum dengan tuntutan penistaan agama lantaran dinilai menghina Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51.

Baca: Aksi 112, Kemasannya Agama, Isinya Gerakan Politik

Sejumlah tokoh alumni 212 satu per satu memilih menyebrang dan bergabung dengan kubu seberang. Ada lagi masih belum menyatakan dukungan secara khusus. Perpecahan ini ditengarai sebagai akibat berubahnya arah gerakan dari yang semula murni membela Islam menjadi politik praktis.

Yang terbaru, keputusan Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam yang memilih mundur dari jabatan Anggota Penasihat Persaudaraan Alumni (PA) 212. Ia mengaku kecewa. Sebab, semangat membela agama yang kental pada Aksi Bela Islam 2 Desember 2016 lalu itu kini luntur. Sekarang telah terkontaminasi dengan politik praktis.

Usamah membeberkan api perpecahan di tubuh PA 212. Usamah bercerita semangat awal gerakan ini adalah menegakkan hukum Allah SWT yang sempat disentil mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Kala itu Ahok menyinggung perasaan umat Islam Indonesia dengan mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 yang mewajibkan muslim dipimpin oleh pemimpin muslim.

“Murni ketika itu semangat membangun persatuan umat, membela Al-Maidah ayat 51 tentang pemimpin muslim. Tunggal, satu isu, tidak ada isu lain hanya membela agama,” kata Usamah.

Usamah mengatakan saat itu 28 aksi digelar untuk menuntut keadilan atas penistaan agama yang dilakukan Ahok. Bahkan, Usamah harus merogoh kocek sendiri untuk melakukan aksi-aksi tersebut.

Kemudian Parmusi juga memutuskan ikut Aksi Bela Islam bersama beberapa ormas lain yang dikomandoi Habib Rizieq Syihab. Parmusi dan ormas lainnya—yang kelak menjadi PA 212—menuntut Ahok untuk mempertanggungjawabkan perkataannya lewat jalur hukum.

Baca juga: Ahok Korban Politik Identitas

Alhasil, Ahok sendiri telah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara dua tahun penjara. Atas vonis tersebut Ahok tak mengajukan banding, dan menjalani hukuman kurungan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Terpecah Tiga Aliran
Usai Ahok mendekam di penjara, kata Usamah, sebetulnya PA 212 sudah menunaikan tugasnya. Namun, perpecahan mulai timbul. Pada awal 2018, setidaknya ada tiga organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan alumni 212. Ada Persaudaraan Alumni 212 di bawah pimpinan Slamet Ma’arif, Alumni Presidium 212 di bawah pimpinan Aminuddin, dan Garda 212 di bawah Ansufri Idrus Sambo.

Ketiganya memiliki arah berbeda. Bahkan mereka sempat menuding kubu lain ilegal. “Ya kalau itu semuanya maunya membangun semangat 212 dalam rangka persatuan umat, tapi mereka sendiri pecah karena conflict of interest,” ungkap Usamah.

Baca juga: 212, Dari Bela Islam ke Bela Manusia

Masalah pun berlanjut di medio 2018. Sesaat sebelum Pilpres 2019 digelar, PA 212 menggelar Ijtimak Ulama guna mendiskusikan arah dukungan ke salah satu kandidat.

Saat itu arah dukungan sudah hampir pasti ke Prabowo, kata Usamah. Namun ada beberapa kalangan yang bersikukuh mengajukan Rizieq karena dianggap lebih mencerminkan pemimpin Islam kaffah atau sempurna yang diamanatkan oleh surat Al-Maidah ayat 51.

Usamah dan beberapa tokoh, seperti pendakwah Bukhari Muslim, tidak diundang. Mereka tidak diberi akses masuk berupa kartu identitas khusus. Akhirnya mereka pun tak bisa ikut mengambil keputusan.

“Mungkin saya dianggap akan menggagalkan putusan dukungan terhadap Prabowo itu, makanya tidak diundang,” katanya. “Tapi saya merasa bersyukur tidak menanggung dosa. Jangan main-main, ijtimak itu sakral, kalau salah mengeluarkan putusan, dosanya turunan, kita pakai syariah.”

Nama Prabowo pun keluar usai dua kali Ijtimak. Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu mengalahkan nama-nama top lain, seperti Habib Rizieq Shihab, Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.

Usamah mengatakan hal ini kembali menimbulkan perpecahan di internal 212. Beberapa pihak tidak setuju karena menganggap Prabowo tidak sesuai semangat 212, mencari pemimpin Islam kaffah.

“Katanya NKRI bersyariah, pendekatannya NKRI bersyariah, muncul-munculnya Prabowo, lho?” ucapnya.

Baca juga: Klaim Bela Islam, Tapi Usung Kebatilan

Menurut dia, Yusril jelas lebih kaffah karena memimpin partai Islam yang benar-benar mengamalkan syariat Islam, atau Habib Rizieq yang menurutnya jelas paham Islam secara sempurna.

Usamah akhirnya mengirim surat pengunduran diri kepada Ketua PA 212 Slamet Maarif pada 11 November. Ia resmi hengkang dari jabatan anggota penasihat.

Meski mundur, Usamah tak melarang anggota Parmusi untuk ikut dalam aksi-aksi 212 mendatang. Namun sekarang elite Parmusi akan ‘mematikan mesin’ dukungan.

Usamah dkk tidak akan menggerakkan massa secara aktif pada perhelatan 212. Dia mengatakan Parmusi membawahi sekitar lima ribu pendakwah dan sekitar 2,5 juta kader.

Terkait dukungan politik, Parmusi tidak secara spesifik memerintahkan kadernya untuk memilih salah satu kandidat apakah Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandi. “Pilih yang taat agama,” ujar Usamah.

Usamah pun berani mengatakan bahwa reuni mendatang sangat mungkin tidak dihadiri tokoh-tokoh di awal masa perjuangan. Prediksi ini ia ucapkan mengingat gerakan bela agama tersebut sudah dicampuradukkan dengan politik praktis.

“Ulama banyak saya kira yang tidak akan ikut lagi 212 ini. Cek saja tokoh-tokoh awal [gerakan 212] seperti Yusuf Mansur, Bachtiar Nasir, Aa Gym, Arifin Ilham, ikut tidak mereka?” cetusnya.

Ramai-Ramai Mundur
Usamah bukan yang pertama meninggalkan bahtera Persaudaraan Alumni 212. Beberapa nama elite 212 sudah lebih dulu keluar dan bahkan menyeberang ke kubu petahana.

Mei lalu, Ali Mochtar Ngabalin meninggalkan rekan-rekannya di 212 untuk bergabung dengan Istana. Ia didapuk sebagai Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP).

Ngabalin jadi orator dan penggerak Aksi Bela Islam 212 ini bahkan mendapat jabatan lainnya, Dewan Komisaris PT Angkasa Pura I. Sejak itu, Ngabalin jadi orang paling vokal membentengi Joko Widodo dari serangan oposisi dan Alumni 212.

Baca pula: Santri, Ahok, dan Perang Kata-Kata

Sekitar dua bulan setelahnya, pengacara Habib Rizieq Shihab, Kapitra Ampera, juga keluar dari gerbong 212. Kapitra secara mengejutkan merapat ke PDIP, partai yang selama ini ia ‘perangi’ bersama 212. Ia bahkan jadi salah satu caleg PDIP.

Ngabalin berujar saat ini Aksi 212 sudah keluar konteks. Ahok sebagai target utama sudah dijebloskan ke penjara. Dia bahkan mencibir Reuni 212 nanti hanya sekadar romantisme tanpa esensi.

“Lebih ke romantisme karena tidak ada lagi musuh. Yang selalu digembar-gemborkan Ahok. Sekarang ada Pak Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno sebagai cawapres. Capres ada Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Semua muslim taat, no problem,” kata Ngabalin, Selasa, 27 Nopember 2018.

Kapitra Ampera melontarkan pernyataan bernada sama. Menurtu dia, gerakan 212 sudah selesai ketika Ahok divonis bersalah.

Ia menilai gerakan alumni 212 sudah melenceng dari semangat awalnya, yakni mengawal kasus penistaan agama oleh Ahok.

“Waktu itu kami syukuran, hukum ditegakkan karena waktu itu, 30 November, dilimpahkan ke pengadilan. Aksi 212 mensyukuri presiden tidak menghalang-halangi perkara,” kata Kapitra.

Kejanggalan Reuni 212
Kapitra menilai, Reuni 212 yang bakal digelar itu hanya merayakan kejahatan orang lain. Padahal Ahok sudah mempertanggungjawabkan perbuatan dengan menjalani proses hukum.

Seharusnya, kata dia, umat Islam belajar memaafkannya. Sebab, Allah mengajarkan Islam itu memaafkan kesalahan orang lain. “Kok tidak ada maaf dari kita sih? Beringas betul. Tidak ada Islam mengajarkan itu,” tegasnya.

Menurut Kapitra, ada kejanggalan Reuni Akbar Mujahid 212. Banyak hal yang keluar dari konteks keislaman. Ia menjelaskan alasan keberatannya terhadap aksi tersebut.

“Bagi kami bahwa Reuni 212 itu tidak lebih daripada merayakan kejahatan orang lain yang sedang menjalani hukuman atas perbuatannya,” ujarnya.

Ia berpendapat kegiatan tersebut terlalu kejam sebab seolah-olah Islam itu penuh dengan ajaran dendam dan amarah.

“Bagaimana perasaan keluarga [inti dan kerabat] orang tersebut bahwa setiap tahun kejahatan bapaknya atau saudaranya itu dirayakan?” ucap Kapitra. “Bukankah Islam mengajarkan agar menjadi pemaaf dan mengajak kebaikan serta meninggalkan orang-orang yang dungu?.”

Baca juga: PBNU: Ulah FPI Coreng Nama Islam

Selain itu, ketika Aksi Bela Islam 212 dua tahun lalu, lanjut Kapitra, tidak pernah ada kesepakatan para peserta aksi akan mendukung Prabowo-Sandiaga. Sebab, massa reuni nanti, tambah dia, tidak hanya berisikan pendukung capres-cawapres nomor urut 02 itu.

“Peserta Aksi 212 itu juga ada kelompok-kelompok yang tidak mendukung Prabowo-Sandiaga. Saya sendiri tidak akan pernah mendukung mereka,” tegas Kapitra.

Selanjutnya, panitia pelaksana reuni mayoritas berisikan tim sukses Prabowo-Sandiaga, ia menilai ada kampanye terselubung dalam acara yang akan diselenggarakan di Monas nanti.

“Meskipun Prabowo-Sandiaga tidak hadir, tetap saja masyarakat melihat bahwa itu sudah memihak,” ucap Kapitra.

Menurutnya, kegiatan bertajuk Aksi 212 itu seharusnya sudah berakhir sebab Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah mengikuti proses hukum. Namun, kegiatan reuni tersebut masih diselenggarakan setiap tahun dan malah menjadi budaya.

“Seharusnya aksi itu sudah berakhir, tapi ini terus dijadikan budaya,” ucap Kapitra.

Juru Bicara PA 212 Novel Bamukmin membantah semua yang dikatakan Usamah. Novel mengatakan pihaknya semakin yakin Usamah sudah ‘masuk angin’. Menurut dia, Usamah menunjukkam jati dirinya sebagai orang pro Jokowi. Hal ini, kata Novel, sudah terlihat sejak Usamah menjembatani Jokowi dan 212.

“Kami sudah tahu, Usamah ada hubungan dengan Jokowi. Pikir saya Usamah lebih berat kepada perjuangan bela Islam, ternyata lebih memilih kelompok penista agama,” kata Novel.

Novel mengklaim mundurnya Usamah tidak memengaruhi dukungan Parmusi kepada 212. Ia juga bilang keputusan Usamah tidak bakal memecah belah PA 212.

“Dengan mundurnya Usamah, kami jadi lebih solid lagi dalam berjuang dan Usamah memang tidak ada pengikutnya di PA 212,” tutur dia.

Terkait status pengunduran diri Usamah, Novel menyebut itu masih dalam proses di PA 212.

Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif mengatakan dirinya sudah menerima surat pengunduran diri Usamah. Surat itu perlu dibahas oleh Habib Rizieq Shihab sebagai Dewam Pembina dan Amien Rais sebagai Dewan Pertimbangan.

“Nanti ada rapat khusus, di-pending sampai reuni selesai. Sementara [Usamah] nonaktif saja,” kata Slamet.

Guna menepis tudingan politis, Slamet Maarif yang juga penanggung jawab Reuni Akbar Mujahid 212, buru-buru pun melarang peserta aksi mengenakan dan juga membawa atribut politik.

Hal tersebut diputuskan, kata Slamet, demi menunjukkan aksi tersebut tak disusupi salah satu calon presiden 2019. Ia menegaskan Reuni 212 bukan ajang politik praktis atau kampanye pasangan calon presiden tertentu.
“Cukuplah pakai pakaian putih-putih, atribut tauhid: boleh kaos, boleh bendera, boleh topi,” kata Slamet dalam jumpa pers di Aula Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta, Rabu, 28 Nopember 2018.

Slamet mengatakan dari pihaknya, panitia telah menyiapkan 6.700 personel yang akan membantu menjaga keamanan. Nantinya para personel keamanan yang bertugas menertibkan andai ada peserta aksi yang melanggar ketentuan itu.

Walaupun telah menyampaikan larangan, Slamet mengaku dirinya tak bisa menjamin kegiatan tersebut nantinya akan ‘bersih seratus persen’ dari atribut parpol. Ia mengaku panitia mengalami keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

Slamet mengatakan meski tak bawa atribut parpol dukungan PA 212 sudah jelas dalam Pilpres 2019. Hal itu sudah diputuskan dalam Ijtimak Ulama I dan II untuk mendukung pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Baca pula: Sapa Ribuan Santri Al Amien, Sandiaga Uno: Kalian Calon Pemimpin Bangsa

“Bagi kita tidak perlulah atribut-atribut. Orang sudah tahu 212 itu arah perjuangannya ke mana,” kata pria yang juga tercatat sebagai juru kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi tersebut.

Dalam Pilpres 2019, paslon Prabowo-Sandi diusung koalisi partai parlemen: Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Sementara itu, di luar partai parlemen yang turut mendukung Prabowo-Sandi adalah Partai Berkarya.

Sementara itu, lawan politik mereka adalah paslon nomor urut 01 yakni Presiden petahana RI Joko Widodo (Jokowi) yang berpasangan dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin.

Baca juga: KH Nur Iskandar: Ahok Banyak Mendukung Islam

Presiden PKS Sohibul Iman meminta para kadernya ikut menyukseskan gelaran reuni yang akan digelar di Monas akhir pekan ini. Sohibul menjelaskan kehadiran dalam reuni 212 merupakan salah satu bentuk nyata PKS dalam mendukung kegiatan-kegiatan yang diadakan para ulama.

“Sesuai keputusan DPTP (Dewan Pimpinan Tingkat Pusat), kader PKS diminta hadir menyukseskan reuni 212. Tapi diminta tidak menggunakan atribut partai dalam bentuk apapun demi menjaga kebersamaan dan menghindari tuduhan yang tidak perlu yang akan merusak tujuan acara,” ujar Sohibul. (us/onk/cnn)

Terkait

Fokus Lainnya

SantriNews Network