Khittah NU dan Dua Isyarat Sorban KH Ahmad Shiddiq
KH Ahmad Shiddiq (dua dari kiri) menerima silaturahim guru-guru Maarif NU Kodya Surabaya di Jember 1987 (santrinews.com/istimewa)
Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan oleh para wali Allah. Sehingga, tata kelola dan manajemen organisasi pun terkadang dan seharusnya tidak boleh jauh dari prinsip kewalian. Termasuk dalam menentukan kepemimpinan dalam organisasi.
Bila dulu KH Muhammad Kholil Bangkalan memberi tongkat dan tasbih kepada KH Hasyim Asy’ari sebagai ‘isyarat langit’ persetujuan pendirian organisasi NU, maka dalam perjalanan organisasi, isyarat seperti demikian juga acap kali dan seharusnya tetap terjadi.
Adalah KH Ahmad Shiddiq (1926-1991) yang mengalami dua ‘isyarat sorban’ sehingga beliau terpilih menjadi Rais Aam PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo.
Pertama, ketika diadakan musyawarah para kiai sepuh tentang penentuan Rais ‘Aam, tiba-tiba saja KH Mahrus Ali Lirboyo memberikan sorban ke pangkuan KH Ahmad Shiddiq seraya berkata: “Sorban ini dari Nabi Khidir, panjenengan harus bersedia menjadi Rais Aam PBNU”. Maka, KH Ahmad Shiddiq yang dari awal menolak dipilih, menangis tersedu mengingat betapa beratnya amanat yang dipasrahkan kepada beliau. (Cerita dari KH Firjaun, putra KH Ahmad Shiddiq kepada penulis).
Kedua, ketika hendak diadakan Munas NU pada 1983 di Situbondo yang akan membahas Pancasila sebagai asas tunggal, KH Abdul Hamid Pasuruan memerintahkan santri beliau untuk memberikan sorban kepada KH Ahmad Shiddiq di Jember. KH Abdul Hamid juga berkata “berikan surban ini ke KH Ahmad Shidiq karena beliau akan menghadapi perang badar”.
Sang santri itu tidak memahami apa yang dimaksud ‘perang badar’. Dan di Munas tersebut semua kiai dan NU pada akhirnya setuju Pancasila sebagai asas tunggal. Dan juga setelah Munas di Situbondo itu beliau KH Ahmad Shiddiq diminta oleh para kiai menjadi Rais Am PBNU. (Cerita santri tersebut yang bernama KH Iqbal Ridwan kepada penulis).
Dari dua cerita ‘isyarat sorban’ di atas, bisa diambil dua hikmah.
Pertama, dari fakta sejarah, NU ini hakikatnya adalah organisasi para Wali Allah. Maka, menjadi keniscayaan bila NU harus selalu menempatkan para Wali Allah menjadi penentu kebijakan NU. Bila hal ini hilang atau sengaja dihilangkan dari NU, maka NU tidak akan berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Dan kejayaan, lebih-lebih keberkahan pasti akan hilang dan pergi dari NU. Inilah sejatinya Khittah NU yang harus terus dijaga. Pemimpin NU, sepatutnya dan haruslah mereka yang telah mendapat restu dari ‘langit’ sebagaimana NU ini didirikan dengan restu ‘langit’.
Kedua, keikhlasan para wali pendiri NU dalam mendirikan NU, Insya Allah, membuat Allah sendirilah yang akan menjaga NU. Dari masa ke masa, NU selalu terjaga dari peristiwa atau hal yang membahayakan eksistensi NU. Hal ini semua mengajarkan pada kita bahwa bila kita ingin mendirikan, menulis atau membuat sesuatu, maka ikhlaskanlah karena Allah semata, maka Allah sendiri yang akan menjaga selamanya. Apalagi kalau restu ‘langit’ telah ada.
Sebagaimana ajaran Wali Allah Syaikh Ibn Athaillah Sakandari:
ما كان لله دام واتصل وما كان لغير الله زال وانفصل
“Sesuatu yang karena Allah akan selalu abadi dan bersambung dan sesuatu yang bukan karena Allah akan hilang dan terputus”. (*)