Menjadi Murid Tukang Tambal Ban
Oleh: A Dardiri Zubairi
Jika Anda berkendaraan motor kemudian di tengah jalan ban kempes, bengkel tambal ban sudah tutup semua karena malam hari, apa yang Anda rasakan?
Kesel. Dongkol. Soal yang sebenarnya kecil seperti ini bisa bisa jadi besar jika tak dikembalikan pada kehendak Ilahi.
Itulah pengalaman saya kemarin. Saat menuju Talango dari Gapura, di tengah jalan, persisnya di Kalianget Barat ban belakang motor saya kempos. Jarum menunjuk angka 16. 30, sebentar lagi maghrib. Apalagi perjalanan ke rumah mertua masih jauh ditambah harus nyeberang laut.
Segera setelah ban kempes, dua anak yang ikut bonceng saya minta turun. Di pinggir jalan ada tukang becak yang menunjukkan bengkel tambal ban. Jaraknya 150-200 meter.
Menuntun motor yang bannya kempes terasa lain. Berat sekali. Apalagi di depan jok (tempat pijakan kaki karena motor matic) ada tas berisi baju dan laptop. Dengan badan yang “tipis” kayak saya terasa berat mendorong motor.
Betul tiba di persimpangan jalan, di seberang ada bengkel tambal ban. Sayang tutup. Saya berhenti depan warung kecil. Pemilik warung, seorang bapak yang sudah lumayan tua mendekati saya.
“Sudah tutup pak. Sebentar ya, saya mau telpon tukang tamba yang lain. Siapa tahu bisa. Bapak dari mana?,” tanyanya sama saya sambil mencet HP.
Sambil nelpon saya diminta untuk nunggu depan bengkel tambal ban. Saya balik arah lagi ke tempat tadi ban kempos. Berarti saya balik arah mendorong motor lagi sekitar 150-200 meter. Dua anak saya dititip sama bapak pemilik warung.
Tiba depan bengkel ada seorang anak muda yang lagi-lagi berbaik hati menelpon tukang tambal yang tak kunjung datang. Saat ditelpon tukang tambal berjanji segera ke bengkelnya.
Sambil menunggu saya ngobrol dengan (sepertinya) bapak anak muda tadi. Lumayan lama ngobrol tentang banyak hal, utamanya tentang kondisi masyarakat di situ. Saya sangat menikmati obrolannya.
Tukang tambal datang kira-kira 5 menit jelang maghrib. Sudah mau bantu saya, malah beliau yang minta maaf karena lambat datang. Pasalnya bapak ini masih ngambil makanan untuk kambingnya. Umurnya sekitar 60-an. Perawakannya kecil seperti saya.
“Dik, selama saya tidak sakit kalau ada yang manggil saya untuk nempel ban saya pasti datang meski bengkel sudah tutup,” tuturnya. “Kasihan dik, apalagi malam, bawa anak, hujan. Bisa dirasakan bagaimana perasaannya?”.
Pernah, kata bapak, temannya nelpon mengabarkan ada orang yang kempes bannya. Saat itu hujan. Kondisi badan bapak panas. Karena badannya masih bisa dipaksa, bapak itu bangkit dan berangkat ke bengkelnya.
“Di samping saya dapat uang, siapa tahu bantuan saya menjadi amal kebaikan saya dik,” begitu alasan bapak.
Bengkel bapak ini buka malam hari. Dari habis isya hingga jam 1 bahkan 2 dini hari. Ketika saya nambal ban, bengkel masih tutup. Depan bengkelnya, di atas pintu tertulis nomer HP bapak ini, mungkin agar siapapun bisa mengontaknya ketika bengkel tutup.
Salah satu alasan bapak ini buka malam hari karena mau bantu orang dan bermanfaat bagi orang, di saat bengkel lain tutup dan pemiliknya tidur pulas. Yang diharap bukan sekedar uang, tapi amal kebajikan yang dia harap bisa memetiknya kelak.
Tak terasa obrolan yang saya sangat menikmati usai. Tambal ban selesai. Ada yang tersisa, mendengar “kuliah singkatnya” sungguh saya malu. Kapan saya menebar manfaat untuk orang lain?
Perjalanan singkat tapi bermakna. Bertemu sama abang becak yang menunjukkan tempat bengkel, bertemu pemilik warung dan anak muda yang berbaik hati menelpon tukang tambal ban, bertemu dekat bengkel yang mengajari saya kondisi warga di situ, dan bertemu seorang penambal ban yang mengajari saya makna membantu sesama, melampaui segepok uang.
Terimakasih ya Allah.
Sumenep, 23 November 2018