Muktamar NU

Gerakan Penyelamat NU Bentuk Tim Anti Politik Uang

Surabaya – Gerakan Penyelamat Nahdlatul Ulama (GPNU) menyesalkan munculnya sejumlah berita tentang tudingan politik uang menjelang Muktamar ke-33 NU di Jombang dalam pemilihan Ketua Umum PB NU. Tudingan itu tidak akan muncul jika sejumlah pihak yang dicalonkan sebagai Ketua Umum PBNU berani mendeklarasikan bersih dari politik uang dengan melakukan sumpah dihadapan ulama atau jamaah NU.

“Bersih dari politik uang bukan hanya dideklarasikan oleh sang calon, namun juga dari TIM suksesnya,” kata Ketua Gerakan Penyelamat NU, M Khoirul Rija, dalam keterangan tertulisnya yang diterima SantriNews.com, Kamis, 30 Juli 2015.

Sejarah mencatat, NU dulu punya tradisi selalu berebut menolak untuk memegang jabatan. Kiai Bisri dan Kiai Wahab Hasbullah menolak menjadi Rais Akbar karena ada KH Hasyim Asy’ari. Sepeninggal Kiai Hasyim, keduanya menolak, terlebih kiai lainnya.

Saat Kiai Wahab akhirnya bersedia, itu pun dengan konsensus Rais Akbar diganti dengan istilah Rais Aam. Saat Kiai Wahab sakit sepuh, muktamirin sepakat menunjuk Kiai Bisri Syansuri sebagai pengganti. Namun beliau tetap menolak.

Menurut Kiai Bisri selama masih ada Kiai Wahab, meski beliau sakit dan hanya bisa sare-an (tiduran) saja, beliau tidak akan bersedia mengganti.

Sepeninggal Kiai Wahab Hasbullah, maka Kiai Bisyri Syansuri menjadi Rais Am. Dan beberapa tahun kemudian beliau wafat. Para Kiai sepuh berembuk memilih pengganti. Saat itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang ditunjuk untuk menjadi Rais Am, namun dengan tegas menolak karena merasa belum pangkatnya.

Menurut Rijal, budaya menolak jabatan itu tampaknya kini mulai hilang dalam setiap kali Muktamar NU digelar. Terbukti adanya beberapa nama calon yang diunggulkan namun tidak satupun dari mereka yang berani mengatakan ke media dan publik bahwa dia bukanlah orang yang pantas memimpin NU.

Lebih parah lagi adanya desas-desus politik uang yang dilakukan sejumlah tim sukses dari sebagian kandidat. “Ini sangat memalukan NU, dan harusnya mereka bertaubat tidak bersedia lagi dicalonkan jika memang benar dalam muktamar sebelumnya telah melakukan politik uang. Meskipun dilakukan oleh tim suksesnya,” ujarnya.

Pengalaman Muktamar NU di Makassar harusnya menjadi preseden buruk yang tidak boleh terulang lagi pada Muktamar di Jombang. Di Makassar kita banyak melihat sejumlah media nasional menjadikan politik uang dalam perebutan Ketua Umum PBNU menjadi headline berita. Harusnya kita malu jika sampai berita itu muncul.

“Ini ngopeni Jamiyah NU, bukan ngopeni partai politik. Tugas pengabdian harus lebih diutamakan dibanding perebutan kekuasaan,” tegasnya.

Muktamar ke-33 NU di Jombang, tempat di mana NU dilahirkan, harus menjadi introspeksi bersama untuk menjadikan muktamar yang damai tanpa ada gejolak sosial. “Kita harus malu, harus takut kepada Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab, dan Mbah Bisri, untuk memiliki semangat menjalankan muktamar damai. Jangan ada politik uang dan cara-cara kotor lainnya untuk mencapai tujuan sesaat,” kata lelaki kelahiran Jombang.

Dikatakannya, GPNU akan membuat Tim Khusus yang bertugas mengawasi ruang gerak kandidat dan tim suksesnya. Jika sampai tim kami menemukan politik uang, kami tidak akan segan-segan mengungkapkannya ke publik dan meminta agar kandidat tersebut secepatnya mundur.

“Ini kami lakukan untuk menjaga kesucian NU dari politik kotor, termasuk campur tangan partai politik dalam mengunggulkann kandidatnya,” tegasnya. (jaz/onk)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network