Muktamar NU
Jelang Muktamar NU, Santri Minta Kiai Tobat
Surabaya – Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) tinggal sepekan lagi. Salah satu agendanya adalah pemilihan Rais Aam Syuriah dan Ketua Umum Tanfidziah PBNU.
Para santri tampaknya menaruh perhatian dan keperihatinan yang mendalam atas sikap yang ditunjukkan sebagian kiai. Keperihatinan ini karena disinyalir banyak kiai yang diduga mulai melakukan politik transaksional. Karena itu, Santri Muda NU menginginkan agar kiai bertobat.
“Sebagai santri, kami merasa sangat malu jika benar kiai-kiai kami terlibat politik transaksional layaknya politisi,” kata Zainuddin, Koordinator Santri Muda NU, di Surabaya, Senin 27 Juli 2015.
Muktamar Ke 33 NU akan berlangsung pada 1-5 Agustus mendatang. Sesuai jadwal akan dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo, dan penutupan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pembukaan dan sidang pleno ditempatkan di Alun alun Jombang.
Sedangkan sidang komisi berlangsung di empat pondok pesantren, yakni Pesantren Tebuireng, Mambaul Ma’arif Denanyar, Bahrul Ulum Tambakberas, dan Darul Ulum Paterongan.
Zainuddin mengaku terpanggil untuk ikut bersuara karena belakangan arus penolakan terhadap sistem pemilihan Rais Aam PBNU melalui sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) semakin deras.
“Maqom kiai seharusnya lebih mulia derajatnya daripada para politisi, kami menginginkan para kiai agar tidak terprovokasi dan tetap pada maqomnya sebagai kiai,” mantan ketua PC PMII Surabaya ini berharap.
Menurut dia, sikap para kiai yang beberapa hari terakhir ini mulai membangun kubu untuk menolak sistem Ahwa. Padahal, lanjutnya, sistem Ahwa telah menjadi keputusan Munas NU beberapa waktu lalu.
Pada Jumat 24 Juli 2015, sejumlah PWNU se Indonesia menggelar konsolidasi di Jakarta untuk menolak diberlakukan sistem Ahwa pada Muktamar NU di Jombang awal Agustus mendatang. “Penolakan ini sebagai sikap yang sangat politis,” pungkasnya. (ubaid/jaz)