Ketua Umum PBNU: Civic-Islam Harus Utamakan Nilai

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj (santrinews.com/dok)
Kendal – Ketua Umum Penggurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengatakan, saat ini Indonesia membutuhkan civic-nasionalisme yang kuat di setiap bidang kehidupan. Sebab sekalipun negara ini sudah memakai perangkat bernegara melalui sistem demokrasi, tetapi hubungan antara negara dengan warga masih belum baik.
“Banyak orang berpikir menjadi warga yang baik sebatas karena kewajiban membayar pajak. Untuk urusan yang lain seperti kepedulian terhadap masalah lingkungan dan sosial kemasyarakatan masih tergolong rendah. Akibatnya, Civic-Nasionalisme hanya terlihat saat tim sepakbola kita bertanding,” katanya kepada SantriNews.com saat ditemui sebelum acara Harlah NU, di Kendal Jawa Tengah, Ahad 10 Mei 2015.
Kang Said, demikian sapa akrabnya mengatakan, demokrasi belum menjanjikan kepedulian negara terhadap warga. “Demokrasi memang butuh proses panjang supaya tidak sekadar urusan pemilu, sekadar urusan memilih. Dalam demokrasi yang baik kita membutuhkan musyawarah atau deliberasi, kekuatan partisipasi, dan emansipasi. Itu butuh kesabaran,” ujarnya.
Namun di balik soal kesabaran, Kang Said memberikan solusi agar kehidupan kewarganegaraan semakin baik, harus ada langkah percontohan dan keteladanan dari para pejabat. “Itu tugas para pejabat agar selalu memberikan teladan bijaksana untuk menciptakan suasana berkeadilan dalam hukum, pemetaraan ekonomi, keadilan sosial, dan dalam urusan agama juga belum menyentuh nilai,” jelasnya.
Terkait dengan gerakan pemikiran civic-Islam yang belakangan digerakkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Kang Said menyambut baik karena tujuannya untuk pemberdayaan.
“Dalam kewarganegaraan, atau istilah arabnya, muwatonah, perlu peningkatan kapasitas manusia, peningkatan mutu berpikir, dan penguatan kemampuan hidup agar memiliki daya tawar. Kita lemah dalam hal itu,” terangnya.
Kang Said juga menegaskan dalam Islam agar dimaksimalkan gerakan nilainya, bukan labelnya. Menurutnya, Islam tidak mengatur politik-kemasyarakatan secara detail. Ajarannya memang luas, tetapi dalam urusan kemasyarakatan, termasuk mengurus negara hingga penerapan teknis semuanya diserahkan kepada manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu kalau sumberdaya manusianya berkualitas, dipastikan nilai islamnya nanti juga mudah diterapkan.
“Civic-Islam juga harus bekerja dalam konteks mengusung nilai. Di antara nilai yang utama adalah semangat civic yang bernafaskan kemajemukan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan meningkatkan derajat martabat hidup manusia yang manusia itu selalu menuju pada upaya untuk kemanusiaan dan rahmat semesta alam,” pungkasnya. (ferli/onk)