Media Islam Moderat Bersatu Hadapi Kontra Narasi Kelompok Radikal

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Hamli, berfoto bersama para penggiat Sindikasi Media Islam (SMI) usai Sarasehan Media Moderat di Hotel Royal, Kuningan, Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019 (santrinews.com/zulfik chalid)

Jakarta – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Hamli, mengatakan, media-media Islam moderat memiliki peran penting dalam melakukan edukasi dan kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal.

“Kita harus siap siapa yang kita hadapi. Narasi apa saja yang mereka kembangkan,” kata Hamli saat menjadi pemateri pada Sarasehan Media Moderat dan Perumusan Program Strategis Sindikasi Media Islam (SMI) di Hotel Royal, Kuningan, Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2019.

Baca juga: BNPT Minta Media Massa Ikut Beri Pemahaman Bahaya Terorisme

Hamli mengakui, media-media yang tergabung dalam SMI ini sangat strategis dalam mempromosikan nilai-nilai Islam _rahmatan lil alamin. Islam yang sejuk dalam kerangka NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Namun, media-media moderat harus berbagi peran dengan cara mengetahui peta narasi radikalisme baik kekuatan maupun kelemahan mereka.

“Berapa kekuatan mereka, di mana kelemahaannya, dan bagaimana kita melakukannya. Kalau belum mari kita samakan persepsi dan tujuannya,” ajaknya di hadapan para penggiat media Islam moderat dan pengurus SMI.

Baca juga: Islam Garis Keras Berkuasa, Indonesia akan Terpecah

Peta Narasi Radikalisme
Hamli mengajak untuk mencontoh strategi sepakbola. Dalam sepakbola itu ada bola, lawan, dan gawang. “Kalau masing-masing main sendiri, bola akan di tengah saja dan tidak akan gol-gol. Makanya media moderat harus satu suara melawan narasi yang ingin memecah belah Indonesia,” paparnya.

Ia mencontohkan narasi radikal yang dikembangkan setiap kelompok radikal berbeda-beda. Al Qaeda, misalnya, awalnya mengembangkan narasi perlawanan komunis, sementara ISIS ‘menjual’ narasi khilafah, negeri akhir jaman, dan negeri syariah.

Begitu juga dengan kelompok-kelompok lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan HTI yang juga mengembankan narasi yang berbeda-beda.

Baca juga: BNPT Resmikan Pesantren Rehabilitasi Eks Teroris

Saat ini, ungkap Hamli, banyak sekali narasi dan konten yang dikembangkan kelompok radikal. Bahkan ada beberapa narasi-narasi itu digunakan sebagai bahan promosi iklan.

“Jadi dalam melawan narasi, media moderat harus memahami petanya. Kalau ada narasi-narasi begini, anda hantam sembarangan, nanti akan menyerang balik,” tukasnya.

Hamli menekankan, peran media Islam moderat sebaiknya mengambil peran dalam memberikan moderasi pemikiran agama dan Islam rahmat yang sejalan dengan NKRI. Hal ini menurutnya sangat penting mengingat berbagai survey menyebutkan bahwa potensi menguatnya masyarakat menginginkan negara dengan ideologi agama tertentu cukup tinggi.

Baca juga: Polres Kota Mojokerto Pantau Kegiatan Provokatif di Media Sosial

Salah satunya Hamli mengutip hasil survey Alvara yang menyatakan 18,1 persen orang Indonesia ingin khilafah atau tidak mau NKRI. Kemudian 42,47 persen nasionalis religius, sedangkan nasionalis 39,43 persen.

Ia berharap dengan keberadan media moderat di bawah SMI, bisa meningkatkan jumlah prosentase kelompok nasionalis, sekaligus mengurangi prosentase tingkat masyarakat yang pro khilafah di negara ini.

Kiprah SMI
Ketua SMI, Faizi Zaini menuturkan, ada sekitar 50 media Islam yang berada dibawah naungan SMI. Menurutnya, SMI diiniasi guna menyuarakan pesan-pesan damai dan Islam rahmatan lil alamin.

“Ada sekitar 50 website yang sudah tergabung dalam SMI,” kata Faizi.

Ia berharap, kedepan SMI bisa menjalin sinergi yang lebih kuat, bukan hanya di internal SMI melainkan juga dengan lembaga di luar seperti kementerian. “Sehingga perdamaian dapat benar-benar tersuarakan di tengah masyarakat,” tegasnya.

Baca juga: Bendung Pengaruh Media Radikal, LTN NU Jatim Dirikan Media Wacth

Mantan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mendukung kiprah SMI untuk berperan lebih besar dalam melakukan kontra narasi melawan kelompok radikal.

“Ini upaya positif untuk membangun suatu jaringan media yang selama ini bergerak untuk melawan isu-isu yang dibayangi pemahaman radikal,” kata Yosep.

Ia mengakui tidak mudah membangun jaringan media seperti diinisiasi SMI ini. Pasalnya, banyak media Islam yang belum berstandar perusahaan pers. Di sisi lain, ada ribuan media lainnya yang menyebarkan pemahaman yang salah seperti radikalisme.

“Yang bisa melawan anak muda atau generasi milenial yang bekerja mengembangkan media online seperti (media-media) di SMI ini,” kata Yosep. (us/onk)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network