Annuqayah dan Kiai Ali Fikri yang Teraniaya

Entah kenapa hati saya ikut terenyuh melihat wajah Kiai Ali Fikri yang sekarang sedang menjalani takdir sebagai calon wakil bupati Sumenep 2020.

Saya bukan santri Annuqayah. Saya tak punya hubungan darah dan ikatan emosi santri-guru dengan Kiai Fikri. Tak punya sanad keilmuan langsung dengan Annuqayah. Saya hanya santri langgar di kampung.

Hanya ibu dan orang-orang yang selalu menasihati saya, agar menghargai dan menghormati guru yang pernah berjasa dalam perjalanan hidup.

Baca juga: Tim Fattah Jasin-Ali Fikri: Politik Bukan Hanya Ajang Bagi-Bagi Sembako

Mereka juga menasihati agar selalu membela keluarga jika punya kepentingan atau hajat. Apalagi mengalami musibah dalam hidupnya. “Mon deging jha’ porop tolang,” begitu pesan yang penuh makna.

Saya ikut terenyuh mendengar cerita Kiai Fikri yang viral di media sosial bahwa ia sedang menjalani beban sangat berat ketika bersedia mendaftar sebagai Calon Wakil Bupati Sumenep 2020 di PPP.

Kiai Fikri mengaku tak tebesit untuk terlibat aktif di Pilkada Sumenep 2020. Apalagi mau jadi salah satu kontestan.

Kiai Fikri mengaku sudah berat mengemban amanah warisan abahnya, alm. KH A Warits Ilyas untuk menjaga atau melayani ribuan santriwan-santriwati yang mondok. Keseharian Kiai Fikri sudah tersita kesibukan mengurus santri, wali santri dan para alumni.

Baca juga: Santri Annuqayah Borong Juara di Pekan Intelektual Indonesia

Tapi karena desakan sang paman, KH A Muqsith Idris, hati Kiai Fikri luluh dan nurut. Sesuai arahan sang paman, Kiai Fikri mendaftar sebagai Cawabup di PPP. Setelah daftar, Kiai Fikri memilih pasif dan memasrahkan kepada pilihan PPP.

Begitu pun saat ia diumumkan PKB sebagai bakal calon wakil bupati untuk mendampingi Fattah Jasin. Kiai Fikri mengaku bingung. Ia tak pernah daftar di PKB. Kiai Fikri hanya daftar Cawabup di PPP.

Di tengah kegundahan itu, Kiai Fikri curhat kepada KH Ramdlan Siradj, saudara sepupunya. Kiai Ramdlan yang mantan Bupati Sumenep dua periode dianggap Kiai Fikri mampu memberi pencerahan atas fenomena politik yang akan dihadapi.

Kiai Ramdlan saat akan menjabat Bupati Sumenep di periode kedua pada 2005 tak lepas dari peran utama sang pamannya, KH Warits Ilyas, ayah Kiai Ali Fikri. Tanpa peran Kiai Warits, jalan mulus Kiai Ramdlan untuk dapat tiket PPP sangat imposible.

Tapi, di Pilkada Sumenep 202, Kiai Fikri ditinggal pergi. Kiai Fikri sebagai Cawabup di Pilkada Sumenep 2020 tak didukung Kiai Ramdlan dan KH Muqsith Idris.

Tersirat wajah Kiai Fikri lesu. Sepulang dari mengambil nomor urut pasangan calon bupati-wakil Sumenep di KPU Sumenep.

Baca juga: Para Pengusaha: Achmad Fauzi Punya Modal Cukup Pimpin Sumenep

Di depan banyak media saat jumpa pers di media center Fattah Jasin-Kiai Fikri, intonasi Kiai Fikri menggelegar. Tak pernah saya dengar sebelumnya ketika berpidato yang biasanya kalem.

Terdengar istilah teraniya. Entah siapa yang berucap saat Kiai Fikri diberi mikrofon oleh Fattah Jasin untuk bicara di depan media.

“Apa perlu saya buka di sini,” begitu kata-kata awal yang keluar dari lisan Kiai Fikri.

“Ceritanya bisa dibuka sejak 5 tahun lalu atau lebih. Apa perlu saya buka di sini.”

Terlihat tangan Neng Dwi Sukmawati, sang istri yang duduk di sebelah Kiai Fikri menarik jas yang dipakainya.

Salah satu wartawan yang pernah nyantri ke Kiai Warits sempat menangis sedu. Mengusap air mata yang menetes. Tak kuasa mendengar putra sang kiainya yang mau curhat di depan media.

Saya tak tahu awal cerita hingga Kiai Fikri ingin meluapkan isi gundah hatinya. Saya tak ikut datang ke KPU. Apa yang terjadi sebenarnya di KPU.

Salah satu rombongan pengantar Kiai Fikri bercerita, di KPU ada KH Muqsith Idris dan KH Ramdlan yang ikut mengantar pasangan calon nomor urut 01, Achmad Fauzi-Nyai Hj Dewi Khalifah.

Baca juga: Achmad Fauzi vs Fattah Jasin: Karir & Jejak Kasus Korupsi

Saya tak kuat mendengar cerita itu. Bagaimana remuk batin Kiai Fikri. Saya merasakan hati Kiai Fikri yang menjerit. Hidup yang dijalaninya seperti orang teraniaya secara politik. Orang-orang yang dianggap sebagai pengganti abahnya tak lagi bisa menjadi curhatan.

Cerita Kiai Fikri seperti kisah Nabi Yusuf yang diajak bersama saudara-saudaranya untuk bermain. Di tengah perjalanan, Nabi Yusuf dilempar ke dalam sumur. Para saudaranya membalikkan cerita kepada orang tuanya, Nabi Yakub, bahwa Yusuf mati diserang serigala.

Sebagai orang luar, saya hanya bisa berdoa agar Kiai Fikri tabah dan terus memasrahkan diri kepada Allah yang Maha Kuasa. Dia Allah yang memiliki Arasy yang Agung

“Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.” (*)

Sumenep, 27 November 2020

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network