Quo Vadis Golput Pilkada Jember

Prof Dr Azyumardi Azra MA, intelektual muslim kenamaan Indonesia menyatakan, bahwa ia akan golput pada 9 Desember 2020 mendatang. Alasannya, demi solidaritas terhadap korban pandemi Covid-19. Selain, ia merasa sebagai kelompok senior citizen yang rentan dan rawan tertular virus mematikan tersebut.

Sontak saja, cuitan profesor alumni Columbia University Amerika Serikat 1988 di laman media sosialnya, disayangkan oleh Junimart Girsang politikus PDIP, dan menganggapnya tak patut dicontoh. Sikap Azra dinilai terkait dengan seruan penundaan Pilkada Serentak, sebagaimana disuarakan juga oleh NU dan Muhammadiyah.

Tentu secara tersirat, sikap Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998-2006) tersebut, golput dalam pengertiannya merupakan “gerakan perlawanan” terhadap rezim berkuasa yang menafikan suara masyarakat sipil. Golput suatu sikap khas Indonesia yang bergulir sejak Pemilu 1971 dan selama pemilu Orde Baru.

Golput dalam sejarahnya, merupakan gerakan protes terhadap pelaksanaan Pemilu 1971, yang dikomandani oleh kekuatan eksponen ’66. Mereka antara lain: Arief Budiman, Julius Usman, Imam Waluyo, Husin Umar, dan Asmara Nababan. Mereka adalah para tokoh pemuda dan mahasiswa yang berada di luar pemerintahan dan tetap bersikap kritis terhadap rezim politik militer yang otoriter dan tiran.

Pada zaman Presiden Soeharto (1967-1998), golput adalah gerakan “terlarang”. Antek-antek penguasa pada waktu itu, melarang kampanye golput, dengan membersihkan pamflet dan kegiatan yang mengajak warga untuk tidak menggunakan hak pilih. Adam Malik Batubara, Menteri Luar Negeri (1966-1978) bahkan mengatakan golput itu gerakan “setan”. Sebab, gerakan ini menjadi setan yang dianggap mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban negara.

Dalam buku Fiqih Pemilu Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi di Indonesia diungkapkan, bahwa mencoblos itu hak sipil yang dijamin oleh konstitusi. Lain halnya dengan fatwa hukum dari Almaghfurlah KH Achmad Shiddiq, bahwasannya mencoblos hukumnya wajib.

“Fatwa itu berdasarkan pada kaidah fikih, mala yatimul wajib illa bihi fahuwa wajibun (sesuatu hal yang wajib tidak bisa sempurna tanpa hal itu, maka hal itu menjadi wajib pula). Memilih pemimpin secara syar’i wajib hukumnya. Mencoblos sebagai sarana memilih pemimpin secara syar’i juga wajib hukumnya”.

Lepas dari perdebatan hukum positif dan fikih di atas, golput terus menerus meningkat dari pemilu ke pemilu. Golput terkecil dalam sejarahnya pada Pemilu 1971, sebesar 6,67 persen, dan terbesar pada Pemilu 2014, yakni 29,01 persen. Rata-rata, angka golput 17,04 persen pada Pileg dan Pilpres. Naik turunnya, partisipasi politik pemilih bergantung pada intensitas sosialisasi dan mobilisasi oleh penyelenggara, aparat pemerintah, peserta pemilu dan tim sukses di akar rumput.

Mariam Budiharjo, perintis studi ilmu politik di Indonesia mengatakan, bahwa partisipasi politik di negara-negara berkembang pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, menjadi ukuran kesuksesan dari “pembangunan politik”. Sehingga dengan demikian, naik turunnya angka partisipasi politik menjadi perhatian khusus semua pihak. Angka itu selain menjadi parameter peta kemenangan, tapi juga basis legitimasi kekuasaan.

Ternyata terbukti, angka golput pada pemilih regional dan lokal lebih tinggi dari pada pemilu nasional. Sekurang-kurangnya pada kasus Kabupaten Jember. Pada 3 kali Pilbup, angka golput melebihi angka golput pada 16 kali Pileg dan Pilpres di atas.

Pertama, pada Pilbup 2005, DPT sebanyak 1.621.566. Sedangkan yang menggunakan hak pilih sebanyak 1.057.350 (66 persen) dan yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 564.216 (34 persen). Pilbup ini diikuti oleh 3 pasangan calon. Yaitu Samsul Hadi Siswoyo-Baharuddin Nur memperoleh 290.092 suara (27,93 persen), MZA Djalal-Kusen Andalas memperoleh 608.053 suara (58,55 persen), dan Machmud Sardjujono-Hariyanto memperoleh 140.302 suara (13,51 persen).

Kedua, pada Pilbup 2010, DPT sebanyak 1.714.548. Sedangkan yang menggunakan hak pilih sebanyak 972.822 (56,73 persen), dan yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 741.726 (43,28 persen). Pilbup ini diikuti oleh 4 pasangan calon. Yaitu Mohamad Soleh-Dedy Iskandar memperoleh 40.912 suara (4,21 persen), Bagong Sutrisnadi-Muhammad Mahmud memperoleh 209.912 suara (21,55 persen), Guntur Ariyadi-Abdullah Samsul Arifin memperoleh 154.438 suara (15,88 persen), dan MZA Djalal-Kusen Andalas memperoleh 567.864 suara (58,37 persen).

Ketiga, pada Pilbup 2015, DPT sebanyak 1.844.435. Sedangkan yang menggunakan hak pilih sebanyak 977.604 (51,6 persen), dan yang tak menggunakan hak pilih sebanyak 916.831 (48,4 persen). Pibup ini diikuti oleh 2 pasangan calon. Yaitu Sugiarto-M Dwi Koryanto memperoleh 452.085 suara (46,24 persen) dan Faida-Abdul Muqit Arief memperoleh 525.519 suara (53,75 persen).

Golput sangat jelas pada uraian di atas, angkanya di Jember lebih besar dari pada angka golput nasional. Data ini menjelaskan banyak hal. Di antaranya:

Pertama, soalan maladministrasi yang dibuktikan dengan akurasi dan validasi DPT yang kurang maksimal. Proses pemutakhiran DPT pemilu terakhir dilakukan di atas meja, dan kurang dicocokkan dengan data lapangan. Coklit hanya formalitas saja. Ditambah dengan partisipasi yang rendah dari tim kampanye pasangan calon di berbagai tingkatan untuk turut serta menyisir data yang ada. Fenomena pemilih hantu selalu muncul dan menjadi biang sengketa hasil pemilu di MK.

Kedua, soalan tuntutan ekonomi. Banyak yang bekerja di sektor informal yang tetap bekerja seperti biasa, kendati pada hari pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara “diliburkan”. Mereka para buruh tani, petani hutan, nelayan, tukang becak, kuli bangunan, bakul sayur, pekerja rumah tangga, worker, sopir, TKI/TKW, pekerja paruh waktu dan lainnya. Mereka rata-rata memilih bekerja daripada datang ke TPS. Tuntutan mencari nafkah merupakan kewajiban yang menghalangi haknya untuk memilih pemimpin daerah.

Ketiga, soalan tak adanya pasangan calon yang mewakili semua kepentingan pemilih. Visi misi dan program serta sosok pasangan calon mustahil dapat menyentuh semua kepentingan pemilih. Mereka dengan sadar tak menggunakan hak lantaran tak menemukan kecocokan secara ideologis, politis, ekonomis dan sosial antara pasangan calon dengan pemilih. Rerata mereka adalah para cerdik pandai dan pemilih terdidik yang tak percaya pada sistem dan pasangan calon yang maju.

Keempat, soalan pemilih yang tak tersentuh. Banyak pemilih merasa mencoblos atau tidak, tak memiliki pengaruh terhadap hidup pemilih secara langsung. Sosialisasi dan kampanye pasangan calon, partai politik, tim kampanye, penyelenggara pemilu dan aparat pemerintah tak sampai menyentuh ke seluruh pemilih. Mereka punya ikatan sangat longgar dangan agenda elektoral. Sehingga masa bodoh dengan pemilu dengan segala macam varian pemilihannya.

Atas dasar itulah, maka target partisipasi pemilih di angka 1.414.675 atau setara 77,5 persen pada Pilbup Jember 2020, sangat sulit dicapai. Bahkan, merupakan target yang ahistoris yang utopis. Sebab, selama 3 kali pilbup, partisipasi pemilih cenderung turun dan hanya bisa mencapai 66 persen saja pada Pilbup 2005. Setelah itu, angka partisipasi pemilih selalu di bawah 57 persen. Apalagi, Pilbup pada masa pandemi Covid-19 ini, sosialisasi dan kampanye dibatasi, serta adanya coronaphobia di kalangan masyarakat tertentu. Sudah pasti, kondisi pandemik ini akan mengurangi greget pemilih datang ke TPS.

Siapa yang diuntungkan atau dirugikan dengan perkiraan golput meningkat? Yang diuntungkan, pasangan calon yang punya tim TPS yang besar. Tim penggerak pemilih yang menyediakan jasa antar jemput, serta bersedia menjadi khadimul ri’ayah yang terbaik.

Semua pasangan calon sepertinya, akan menggunakan cara yang sama untuk mendongkrak partisipasi pendukungnya guna meraih kemenangan. Tinggal, alam lebih berpihak pada siapa. Faida kah? Hendi kah? atau Salam kah? Maka, dialah sejatinya Bupati Jember mendatang. (*)

Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network