Quo Vadis Gerakan Mahasiswa

Ilustrasi gerakan aktivis mahasiswa
Ketika menilik ulang sejarah gerakan mahasiswa, ada rasa yang seketika muncul; sebuah dinamika yang idealis-progresif dengan heroisme-konstruktif yang membumbung di ubun-ubun kepala.
Dahulu, ciri tersebut sangat melekat dengan sosok yang mengatasnamakan diri mereka sebagai mahasiswa. Setiap pergolakan sosial-politik, ekonomi, bahkan kebudayaan, mahasiswa hadir sebagai lokomotif gerakan. Dengan nalar kritisnya, mahasiswa mampu menembus ruang-ruang sempit kolonialisme di era pra kemerdekaan, hingga mampu membawa kita memasuki gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Banyak tokoh-tokoh mahasiswa lahir di era ini; sebut saja Tan Malaka, Sjahrir, Soekarno, Hatta, KH Wahid Hasyim.
Pasca Kemerdekaan, era Orde Lama, kita masih disuguhkan dengan tulisan-tulisan revolusioner dari sosok Soe Hok Gie. Ada pula sosok Mahbub Djunaidi, aktifis, penulis dan negosiator ulung.
Di era 1966, kita kenal dengan Angkatan ’66 ada sosok Muhammad Zamroni, Pendiri dan Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Cosmas Batubara (Presidium KAMI), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi tokoh-tokoh gerakan mahasiswa kala itu. Mereka terlibat aktif dalam setiap dinamika kebangsaan.
Pada Angkatan 1974, kita ingat ada sosok Arief Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan yang dengan lantang mendeklarasikan Golongan Putih (Golput); sebuah efek dari ketidakpercayaan mahasiswa kala itu terhadap gaya kepemimpinan Orde Baru. Hingga, yang masih segar dalam memori kita; Gerakan Mahasiswa 1998 yang berhasil menumbangkan Orde Baru dari tahta selama 34 tahun berjaya. Mereka berjuluk Angkatan ’98.
Baca juga: Yenny Wahid dan Mahasiswa Papua Kirim Pesan Damai dari Makam Gus Dur
Saya masih belum bisa membayangkan, bagaimana tradisi intelektual dan daya nalar kritis, mampu mereka pertahankan ditengah segala keterbatasan kala itu? Akses informasi belum sedemikian mudah dapat diakses. Bahkan media massa belum berjubel seperti saat ini. Namun, mereka mampu membuktikan pada sejarah, bahwa mereka adalah “anak zaman” yang mampu mendarma-bhaktikan dirinya untuk bangsanya.
Hari ini, mahasiswa seolah larut dalam romantisme-erotik gerakan mahasiswa. Mereka terlarut dalam mimpi indah nun panjang. Mereka lupa, bahwa sebenarnya mereka belum melakukan apa-apa. Romantisme-erotik ini tergambar pada setiap gerakan yang dilakukan, selalu saja terbaca dan mampu dinetralisir oleh power-kekuasaan.
Spirit Tri Dharma Perguruan Tinggi juga hanya menjadi isapan jempol semata. Pendidikan, hanya dimaknai sebagai proses belajar mengajar di ruang-ruang sempit dunia perkuliahan; Penelitian, hanya dimaknai sebagai proses pembuatan makalah dan tugas akhir atau skripsi; dan Pengabdian Masyarakat, hanya dimaknai proses Kuliah Kerja Nyata (KKN) semata.
Jauh lebih tragis lagi, ketika ada seorang mahasiswa yang memulai bersikap kritis, mahasiswa yang lain selalu membenturkan pada nilai-nilai etis-religius. Bahwa, sikap kritis seolah menjadi momok yang menakutkan. Jauh dari nilai-nilai kesopanan yang berujung pada ketidak-barokahan ilmu yang diperoleh.
Padahal, jika ditilik lebih dalam, ranah kampus adalah ranah intelektual-akademik yang seharusnya memakai logika positivistic (salah-benar), bukan ranah etis (baik-buruk). Lebih jauh lagi, laradigma kritis dibangun atas sebuah kesadaran bahwa, ada hal lain yang berlaku sistemik yang menyebabkan kondisi sosial menjadi kacau (baca: chaos).
Disisi lain, ada semacam kejumudan gerakan. Dampak dari kecepatan laju revolusi industry 4.0 berbentuk digitalisasi dan kemajuan internet, membawa efek degradasi psikologis berupa kemudahan (baca: instan). Segala sesuatu yang tidak memudahkan dan tidak instan, jarang sekali diminati. Membaca dan melihat informasi (secara visual) dari media online jauh lebih diminati dari pada harus membaca dan menghabiskan lembaran-lembaran buku.
Alhasil, mereduksi proses pembacaan, pemahaman dan pencarian esensi sebuah kebenaran. Wujud nyata dari ancaman tersebut adalah lahirnya istilah hoax. Dalam posisi ini, Mahasiswa semakin terjerembab dalam pusaran arus informasi yang cepat dan tidak berujung. Dari sini, akan terlihat kemandulan gerakan mahasiswa. Bahkan, untuk hanya sebatas menentukan isu bersama saja, gerakan mahasiswa seolah gagal.
Perlu Strategi Kebudayaan
Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman pernah mengutarakan bahwa, “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”
Pertanyaannya, apakah kita —mahasiswa— menginginkan kondisi yang demikian? Kiranya, dalam upaya memupuk kembali nalar kritis dan idealisme mahasiswa, butuh semacam strategi kebudayaan.
Ditengah laju perkembangan industri 4.0, kita sebenarnya tidak bisa dan mampu untuk membendung arus digitalisasi. Maka dari itu, butuh semacam akulturasi dan digitalisasi nalar kritis. Kita bisa memanfaatkan berbagai macam platform sosial media dalam rangka menumbuhkan nalar kritis mahasiswa. Kita penuhi ruang-ruang diskursus digital. Dengan istilah lain, “kita rebut pasar, kita pasarkan pergerakan”.
Baca juga: Cara Mahasiswa Rantau Merayakan Maulid Nabi
Pasar kita hari ini adalah ruang-ruang digital-sosial media. Maka, buat ruang-ruang dialektika di sosial media kita. Semakin ramai pasar, maka semakin banyak besar peluang kita sebagai agen of change menciptakan gerakan. Gerakan-gerakan ini yang nantinya akan menjadi kekuatan baru dalam rangka merubah kebijakan yang tidak berpihak terhadap rakyat.
Bukankah prasyarat untuk melakukan sebuah revolusi harus ada beberapa tahap? Yaitu, adanya pemikiran dan gagasan yang revolusioner, adanya tokoh (intelektual) yang revolusioner dan harus ada kesabaran yang revolusioner. Tabik! (*)
Puspa Indah, Penulis asal Surabaya.