Pengamat Ungkap 5 Fakta Gerakan Ganti Presiden Ditumpangi Kelompok Pengancam NKRI

Sekelompok orang dengan mengenakan kaus 2019 Ganti Presiden foto bersama serta membentangkan spanduk di Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 29 April 2018 (santrinews.com/fb)

Jakarta – Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi, mengupkap fakta mengejutkan ihwal gerakan #2019GantiPresiden.

Menurut Muradi, meski para penggiat aksi dan deklarasi gerakan #2019GantiPresiden menolak dikait-kaitkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), namun secara faktual sulit dibantah bahwa kedua organisasi itu tetap melekat dalam setiap aksi dan deklarasi tagar tersebut.

Apalagi, kata dia, model kampanye yang digunakan mirip dengan apa yang dilakukan di Suriah yang kemudian membelah publik dan menciptakan peperangan yang berlarut-larut di Suriah dan juga Irak.

Muradi menuturkan, ada lima indikasi gerakan #2019GantiPresiden ditunggangi penumpang gelap yang mengancam NKRI. Pertama, meski sebagian presidium #2019GantiPresiden adalah pegiat partai, dan partai mereka telah resmi mengusung bakal calon pasangan presiden dan wakil presiden, namun masih enggan untuk diasosiasikan dengan pasangan tersebut.

“Ini mengindikasikan bahwa ada agenda yang berbeda antara kader partai tersebut dengan gerakan tagar ganti presiden,” kata Muradi, melalui keterangan tertulisnya, Ahad, 9 September 2018.

Kedua, lanjutnya, aksi dan deklarasi tagar 2019 ganti presiden diidentikkan sebagai gerakan agama atau setidaknya berbasis dengan agama tertentu dengan menjadikan rumah ibadah sebagai bagian dari kampanye tagar ganti presiden.

Gerakan tersebut selalu mengasosiasikan pemerintah anti agama tertentu meskipun misalnya calon presiden petahana Jokowi menjadikan ulama sebagai calon wakil presiden pendampingnya, yakni Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin.

“Artinya secara politik, bukan hanya tidak mengingingkan bakal calon yang diusung para anggota presidium tersebut, tapi juga menganggap bahwa ulama yang diusung oleh petahaan sebagai figur yang tidak diinginkan,” ujar dia.

“Karena itu esensi gerakan tagar ganti presiden tidak dalam mengusung salah satu pasangan calon dari dua pasangan calon yang ada saat ini, melainkan ada agenda politik tersendiri yang sama sekali berbeda dengan hajat politik yang tengah berlangsung saat ini,” sambungnya.

Ketiga, dalam setiap aksi dan deklarasi yang dilakukan hampir tidak pernah menyebut pasangan yang ingin diusung oleh partai dari presidium tagar ganti presiden tersebut.

Jika jeli dalam melihat sejumlah orasi yang dilakukan kerap kali memancing solidaritas keumatan dengan berbagai isu yang belum tentu teruji kebenarannya.

“Hal ini mengingatkan kita pada jargon yang sering digunakan oleh HTI sebelum dibubarkan dan dilarang oleh pemerintah,” tuturnya.

Keempat, tagar ganti presiden juga secara eksplisit dan terbuka mengklaim sebagai gerakan konstitusional, namun pada praktiknya itu adalah bagian yang kemudian dijadikan pijakan legal argumentatif apabila gerakan yang dilakukan ditolak atau dilarang.

Di sisi yang lain mereka juga kerap menggunakan jargon-jargon dan simbol yang digunakan oleh HTI dan juga ISIS, yang bila mengacu pada UU Anti Teror telah masuk wilayah penyebaran paham radikal dengan simbol-simbol tersebut.

Dan kelima, hampir pasti gerakan tagar 2019 ganti presiden akan bermetamorfosa kembali untuk menolak penggunaan tagar 2019prabowopresiden yang harusnya diusung serius oleh kader-kader yang partainya mengusung mantan danjen Kopassus tersebut sebagai calon presiden.

“Hal ini agak mirip saat simbolisasi 212 redup, yang kemudian menggunakan tagar ganti presiden. Artinya ada penegasan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan pola formal konstitusional sebagaimana yang diatur oleh undang-undang dalam proses pergantian kepemimpinan politik nasional,” katanya.

Muradi menilai, tagar ganti presiden secara sistematis adalah gerakan yang ingin membangun sentimen ketidaksukaan pada pemerintah yang tengah berjalan karena dianggap tidak mewakili kepentingan politiknya.

Namun di sisi lain juga enggan untuk menyokong calon lawan dari petahana dengan berbagai pertimbangan, karena keduanya tidak mewakili dan merepresentasikan kepentingan politik mereka.

“Dari lima indikasi tersebut, dipastikan bahwa gerakan tagar ganti presiden tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural. Dengan kata lain ada agenda politik tersembunyi yang ingin diperjuangkan di luar skema politik yang ada, dan hal tersebut tampak dari lima indikasi tersebut,” pungkasnya.(*)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network