Sel-Sel Jaringan NII

Sel-Sel NII (3): Pewaris Ideologi, MMI dan JI hingga Ma’had Al-Zaytun

Ujang Syarif (kanan), putra Imam NII 1987 Ajengan Masduki

Faksi Fi Sabilillah adalah pewaris ideologi NII yang menyerukan jihad qital (perang fisik) untuk menegakkan hukum Allah. Mereka pecah ke banyak faksi. Ini terjadi sejak Daud Beureueh, imam NII yang dibaiat pada 1973, ditangkap aparat pada 1975.

Para kombatan bergerak tanpa kepemimpinan tunggal. Dulu NII punya 7 Komandemen Wilayah (KW). KW1 Priangan Utara. KW2 Jawa Tengah. KW3 Jawa Timur. KW4 Kalimantan. KW5 Sulawesi. KW6 Aceh. KW7 Priangan Selatan. Adah Djaelani mengangkat dirinya sebagai Imam pada 1979. Dia mereorganisasi jamaah dan menambahkan dua KW: KW8 (Lampung) dan KW9 (Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Banten).

Tahun 1981, Adah ditangkap aparat. Kepemimpinan organisasi oleng. Ajengan Masduki diangkat menjadi Imam pada 1987. Loyalis Adah tidak terima. Abu Karim Hasan memimpin KW9 (1984-1992). Setelah itu diteruskan Rais Ahmad (1992-1996). Ajengan Masduki menggandeng Abdullah Sungkar, dan Abu Bakar Ba’asyir, kader Jawa Tengah yang direkrut oleh Hispran pada 1976. Ajengan Masduki kuat di jaringan Purwokerto, Surakarta, Subang, Cianjur, Jakarta, dan Lampung.

Faksi lainnya Atjeng Kurnia, bekas ajudan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (SMK), yang mengontrol wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang. Abdul Fatah Wiranagapati, bekas pejabat KUKT (Kuasa Usaha Komandement Tertinggi), menguasai daerah Garut, Bandung, Surabaya dan Kalimantan. Gaos Taufik memimpin Pulau Sumatera.

Tahun 1994, Adah bebas. Pada 1996, Adah membaiat Abu Toto, alias Panji Gumilang, sebagai penggantinya. Jadilah dia Imam NII (KW IX), yang pusatnya di Ma’had Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu. Putra-putra SMK, Dodo M Darda dan Tahmid Rahmad Basuki, tidak setuju.

Tapi Abu Toto ini juara. Dia jago nyari uang dan mengelola jaringan. Pondoknya menjadi langganan kunjungan para pejabat. Kiprah Abu Toto yang berkibar seiring dengan pamor Ajengan Masduki yang redup. Ini dampak pecah kongsi antara Ajengan dan Sungkar. Sebabnya macam-macam, dari isu bid’ah hingga keuangan.

Pada 1995, Sungkar kirim surat ke Ajengan. Intinya mereka infishal alias mufaraqah. Dari Malaysia, Sungkar dan Ba’asyir mendirikan Jama’ah Islamiyah (JI). Namanya menjiplak organisasi jihadis asal Mesir bentukan Umar Abdurrahman. Sungkar mengirim kader-kadernya tadrib askari (diklat militer) ke Afghanistan. Jebolannya kemudian menggegerkan dunia dengan rentetan Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, dll.

Tapi pamor Ajengan tidak sepenuhnya mati. Loyalis-loyalisnya masih cukup banyak. Ketika Reformasi, mereka berkumpul di Yogyakarta. Mereka mendeklarasikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) pada 2000. Abu Bakar Ba’asyir, yang ditinggal mangkat oleh Abdullah Sungkar pada 1999, diangkat menjadi Amir MMI. Dia diangkat karena paling senior. Meskipun dia pendamping utama Sungkar, tidak ada alih kepemimpinan resmi, berdasarkan PUPJI, dari Sungkar ke Ba’asyir. Artinya Ba’asyir tidak rangkap jabatan dengan JI. Dia menjabat Amir MMI hingga mundur pada 2008.

Lalu siapa pimpinan JI? Tidak ada figur sentral. Konon Abu Rusydan, setelah itu Para Wijayanto. Dedengkot-dedengkotnya Zulkarnaen alias Aris Sumarsono, Siswanto, dan Upik Lawanga. Mereka semua ditangkap oleh Densus 88 dalam beberapa bulan terakhir. Sel-sel mereka belakangan kuat di Lampung.

Lalu siapa pemimpin NII? Ajengan Masduki telah wafat. Tahmid Rahmat Basuki sakit-sakitan. Abu Toto bangkrut ditinggal para pengikutnya. Banyak skandal yang menjeratnya. Praktis tidak ada figur sentral. Faksi Sulawesi Selatan, loyalis Kahar Muzakkar, kelak bernaung di bawah gerakan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam) pasca Reformasi. Tokohnya Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, putra pendiri TII Sulsel. Awal berdirinya melibatkan tokoh-tokoh Islam arus utama, termasuk KH Sanusi Baco, tokoh NU. Setelah ketahuan bahwa KPPSI adalah penjelmaan DI/NII kawasan Timur, para tokoh itu mundur.

Aziz jadi senator selama tiga periode (2004-2019). Dia juga petinggi ormas Hidayatullah. Ormas ini didirikan pada 1973 oleh Abdullah Said, pengagum Kahar Muzakkar. Basisnya di Balikpapan, Kaltim. Awalnya konsen di bidang pendidikan, lalu ekonomi, dan media. Jaringan pendidikannya, dari pesantren hingga perguruan tinggi, tersebar di berbagai daerah. Baitul Mal Hidayatullah (BMH) adalah salah satu LAZ terkuat di Indonesia. Jaringan medianya, Majalah Suara Hidayatullah, dulu salah satu majalah Islam dengan oplah terbesar. Fadli Zon, politisi Gerindra, pernah jadi jurnalis di majalah ini.

Sel NII lain yang kuat adalah MMI. Sekarang dipimpin oleh Irfan S Awwas, pengagum Kartosuwiryo. Dia menulis buku berjudul Jejak Jihad SM Kartosuwiryo. Dengan jalan tak terduga, saya dapat bertemu dengan putra Ajengan Masduki, untuk menggali info soal ini. Wasilahnya adalah teman saya, Farid Assifa, kader PMII Gadjah Mada, yang ternyata adalah keponakan Sang Imam.

Karena pernah bercita-cita jadi tentara, Ajengan pernah menawarinya sekolah militer di Afghanistan. Farid menolak dan memilih kuliah di Fakultas Filsafat UGM dan ikut PMII. Ajengan nampaknya kecewa. “Anak Filsafat tidak bisa didekte,” mungkin begitu anggapannya. Setelah itu, kata Farid, Ajengan tidak pernah mengontaknya lagi. Saya berdiskusi lama dengan Ujang Syarif, putra Ajengan, di sebuah tempat di Tasikmalaya. Pembawaannya kalem.

Saya kaget, dia ternyata perokok. Klop, obrolannya jadi gayeng. Saya mendengar banyak. Seperti selalu, saya tidak berupaya mendebat jalan pikiran orang. Saya dengarkan berjam-jam. Dia teman ngobrol yang asyik. Kang Syarif pernah pindah-pindah tempat, mengikuti bapaknya. Dia pernah sembunyi di Desa Beji, Kedung Banteng, Banyumas. Tidak bisa semua info saya bagikan di sini. Saya menyimpulkan, Kang Syarif sudah moderat.

Di ujung pembicaraan, Kang Syarif baru nanya motif saya menemui dirinya. Saya jawab, “Saya penasaran dengan figur Ajengan Masduki. Tidak ada satu pun jejak digital tentang dirinya. Padahal dia sosok penting.”

Kang Syarif mengakui bapaknya dihormati di kalangan petinggi MMI. Lalu dia nanya pandangan saya tentang negara. Saya kutip hafalan saya, dari ta’bir Imam Rafi’i tentang definisi Darul Islam, dari Kitab Fathul Aziz. Pertama adalah daerah yang dihuni Muslim dan non-Muslim (دار يسكنها المسلمون، وان كان فيها اهل الذمة ).

Kedua, daerah yang dibebaskan oleh Muslim, tetapi dikuasakan pengelolaannya kepada non-Muslim dengan membayar jizyah (دار فتحها المسلمون، واقروها فى يد الكفاربجزية). Ini semacam daerah protektorat.

Ketiga, daerah yang pernah dihuni umat Islam, kemudian mereka diusir dan hidup di bawah dominasi non-Muslim (دار كان المسلمون يسكنونها ، ثم جلوا عنها وغلب عليها المشركون). Asal di situ masih ada syiar Islam, meskipun sebagian, menurut Imam Rafi’i, daerah itu masih disebut Darul Islam.

Kriteria pertama Indonesia masuk, dulu maupun sekarang. Kriteria kedua tidak pernah terjadi di Indonesia. Kriteria ketiga pernah dialami Indonesia masa kolonial. Artinya, Indonesia masuk dua dari tiga kriteria. Karena itu, Indonesia sudah Darul Islam dan tidak perlu lagi mengusahakan Darul Islam ala NII.

Kang Syarif nampak senang dengan jawaban saya. Baru setelah itu beliau memanggil saya Ustadz (hahahaha). Beliau bilang, “Saya baru dapat perspektif ini dari antum. Terima kasih.” Obrolan usai. Saya hadiahkan buku saya, jabat tangan, dan berjanji kita masih akan saling berhubungan. Sekian. (*)

M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU.

Terkait

Tarikh Lainnya

SantriNews Network