Kimiya-yi Sa‘adat (1): Tentang Mengenal Diri

Kunci untuk mengenal Allah adalah mengenal diri. Karena alasan inilah dikatakan, “Dia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.” Karena alasan ini pula Allah berfirman:
“Akan kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di kaki langit dan dalam diri mereka agar menjadi jelas kepada mereka bahwa Dialah sang Mahamutlak” (QS 41: 53). Maksudnya adalah: Akan Kami tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dalam alam dan dalam diri mereka agar hakikat Sang Mahamutlak terungkap kepada mereka.
Baca juga: Hujjatul Islam: Tentang Dua Jenis Imam Ghazali
Singkat kata, tidak ada yang lebih dekat kepadamu daripada dirimu sendiri. Bila Engkau tidak mengenal dirimu sendiri, mana mungkin Engkau akan mengenal sesuatu yang lain? Namun, bila Engkau mengaku mengenal dirimu sendiri, Engkau salah besar! Engkau mengenal dirimu tak lebih dari sekadar kepala, wajah, tangan, kaki, daging, dan kulit luarmu! Yang Engkau kenal tentang inti batinmu tak lebih dari fakta bahwa ketika lapar Engkau akan makan; ketika marah Engkau akan berkelahi; dan ketika birahi menguasaimu Engkau akan bersenggama. Bila begini, Engkau sama saja dengan binatang ternak.
Oleh karena itu, Engkau harus mencari tahu tentang hakikat dirimu: Binatang apa Engkau ini? Dari mana Engkau datang? Akan ke mana Engkau pergi? Mengapa Engkau mampir di tempat persinggahan (maksudnya, kehidupan dunia) ini? Untuk tujuan apa Engkau diciptakan? Apakah kebahagiaanmu dan di mana Engkau akan mendapatkannya? Apakah penderitaanmu dan di mana Engkau akan mengalaminya?
Di dalam dirimu terhimpun banyak sifat: ada sifat binatang ternak, ada sifat binatang buas, ada sifat setan, ada sifat malaikat. Yang mana merupakan jatidirimu? Yang mana merupakan hakikat fitrahmu, sementara sisanya cuma pinjaman dan asing dari dirimu? Bila Engkau tidak menyadari hal ini, Engkau tidak akan bisa mencari kebahagiaanmu sendiri, karena masing-masing sifat tersebut memiliki santapan dan kebahagiaannya sendiri.
Bagi binatang ternak, santapan dan kebahagiaan mereka adalah dengan makan, tidur, dan bersenggama. Bila Engkau sejenis mereka, Engkau akan berusaha mengenyangkan perut dan memuaskan alat kelaminmu siang dan malam. Adapun binatang buas, santapan dan kebahagiaan mereka ada dalam kepuasan mencabik, menerkam, dan menghabisi [mangsa]. Santapan setan adalah bisikan kejahatan, pengkhianatan, dan muslihat. Bila Engkau sejenis mereka, sibukkanlah dirimu dengan perbuatan-perbuatan mereka dan raihlah kesenangan dan keuntungan darinya!
Adapun para malaikat, santapan dan kebahagiaan mereka adalah dengan menyaksikan Hadirat Ilahi. Mereka terlindung dari hawa nafsu, amarah, dan sifat-sifat binatang ternak ataupun buas. Bila Engkau memiliki substansi-malaikat dalam fitrahmu, berjihadlah untuk mengenal Hadirat Ilahi dan bukalah dirimu untuk menyaksikan keelokan-Nya. Bebaskan dirimu dari kuasa hawa nafsu dan amarah. Berjuanglah hingga Engkau benar-benar mengerti alasan penciptaan sifat-sifat hewani dalam dirimu. Adakah sifat-sifat tersebut diciptakan agar Engkau terbelenggu olehnya, agar Engkau melayani egomu, dan Engkau diperbudak olehnya dalam kerja-paksa siang dan malam? Engkau harus mengendalikan mereka sebelum mereka mengendalikanmu! Engkau harus menjadikan salah satunya sebagai kendaraan dan yang lain sebagai senjata dalam perjalanan yang sedang Engkau tempuh. Gunakanlah keduanya dalam hari-hari singkat di tempat persinggahan ini untuk berburu—dengan bantuan keduanya—benih kebahagiaanmu sendiri.
Baca juga: Kiai-Kiai Khos di Belakang Dekrit Presiden Gus Dur
Bila Engkau telah memperoleh benih kebahagiaan, lepaskanlah kedua alat tersebut dan arahkan wajahmu ke tempat kebahagiaanmu berada, tempat berpulang yang oleh kalangan terpilih disebut “Hadirat Ilahi,” dan oleh kalangan awam disebut “Surga.”
Segala hal ini harus dipelajari agar Engkau bisa mengenal dirimu sendiri. Piala di Jalan Agama bagi mereka yang tanpa pengetahuan adalah gelas kosong belaka, dan ia akan terhalang dari hakikat sejati agama. (*)
Muhammad Ma’mun, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Silo, Jember. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep.
——-
Kimiya-yi Sa’adat, yang biasa diterjemahkan menjadi Kimia Kebahagiaan, bukanlah karya yang asing bagi para pembaca Imam al-Ghazali di Tanah Air. Karya ini sudah diterjemahkan berkali-kali ke dalam bahasa Indonesia.
Sayangnya, terjemahan ini dipungut dari edisi ringkasnya, biasanya dari bahasa Arab atau dari terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh Claud Field. Terjemahan yang terakhir, seperti yang dijelaskan oleh penerjemahnya, dikerjakan dari terjemahan Bengali-nya yang ringkas. Dus, terjemahan dari terjemahan.
Padahal, edisi asli kitab ini dalam bahasa Persia 2 jilid tebal. Struktur babnya sama dengan Ihya’ ‘Ulum ad-Din, yang terdiri dari 40 buku. Keempat puluh buku dalam Kimiya-yi Sa’adat bisa dibilang merupakan versi padat dari 40 buku Ihya’.
Hal lain yang membedakan Kimiya-yi Sa’adat dengan Ihya’ adalah bab-bab pendahuluannya yang panjang: terdiri dari 4 topik. Keempat topik ini lebih panjang dan lebih filosofis dari buku ke-21 dan ke-22 Ihya’.
Pembicaraan yang teoretis dan filosofis ini mengisyaratkan bahwa Kimiya ditulis untuk kaum terpelajar dan cendekiawan Persia yang tidak bisa berbahasa Arab.
Pada bulan Ramadhan ini, saya ingin berbagi hasil terjemahan saya atas mukadimah Kimiya-yi Sa’adat yang saya ambil dari versi Inggrisnya yang dikerjakan oleh Jay R. Cook.
Untuk kepentingan kawan-kawan, terjemahan saya buat selonggar mungkin, dan dalam beberapa kesempatan atau berseri, lebih merupakan parafrase dari terjemahan literal. Semoga bermanfaat! (*)