Agama Tak Kenal Diskriminasi kepada Disabilitas
Australia – Tiga tokoh agama yakni KHM Luqman Hakim PhD (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama ANZ), Pdt Ellia Maggang (Kristen), dan Romo Amatus Budiharto (Katholik) menilai agama itu tidak mengenal diskriminasi kepada disabilitas.
“Dalam al-Quran surat Abasa ayat 1-16, Allah menegur Nabi Muhammad karena mengacuhkan dan memalingkan wajahnya dari Abdullah bin Ummu Maktum, penyandang tuna netra, yang hendak mendapatkan pengajaran Islam dari Nabi,” kata KHM Luqman Hakim dalam diskusi antar-iman di Flinders University Adelaide, Australia, Kamis petang, 2 April 2015.
Dalam siaran pers dari Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) cabang Flinders, PPIA cabang South Australia, dan PCI NU ANZ, sang kiai yang juga seniman kaligrafi dan pengampu majalah Cahaya Sufi itu menegaskan bahwa Islam tidak mengenal dosa turunan.
“Jadi, kalangan disabilitas itu juga sesama manusia yang harus dihormati. Kalau ada pandangan keagamaan yang menganggap disabilitas sebagai penanggung dosa, kutukan, pandangan semacam itu sudah bercampur legenda atau mitos-mitos. Bukan dari ajaran Allah,” katanya.
Topik disabilitas yang disinggung dalam diskusi yang membahas upaya damai di tengah perbedaan iman itu menyeruak ketika aktivis dan akademisi disabilitas Jaka Anom Ahmad Yusuf Tanukusuma menyinggung banyaknya pemuka agama yang cenderung memandang disabilitas sebagai kalangan yang patut mendapat diskriminasi.
Bahkan, fakta diskriminasi terhadap perempuan disabilitas juga dibeberkan aktivis dari Komnas Perempuan, Siti Maesaroh, yang sedang menempuh master bidang studi disabilitas (Flinders University).
Aktivis perempuan itu menguraikan masih diberlakukannya UU Perkawinan 1974 yang didasarkan pada nilai-nilai agama memberikan peluang diskriminasi, karena salah satu pasalnya menyebutkan seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya yang “cacat” atau sakit fisik yang tidak bisa disembuhkan.
Merespons persoalan itu, Romo Budi menyatakan isu disabilitas sebagai tantangan sejarah umat yang tidak terlepas dari konteks sosial. Menurut hematnya, disabilitas sebagai kutukan Tuhan adalah pandangan yang hidup dalam sejarah umat di masa lalu.
“Bagi orang-orang Katholik sekarang ini tidak bisa lagi berlindung dalam Perjanjian Lama yang masih punya tendensi menyingkirkan disabilitas, karena ada spirit yang lebih substansial bahwa Yesus datang untuk menyapa orang-orang yang dipinggirkan, disingkirkan,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Ellia Maggang yang sedang menempuh master bidang teologi di Flinders University mentransformasikan Trinitas sebagai perbedaan yang bersatu dalam relasi kasih. “Dari sana ada prinsip Yesus bahwa melalui penyandang disabilitas kemuliaan Tuhan terpancar,” katanya. (hay)