Santri, Ahok, dan Perang Kata-Kata
Oleh: H Abdul Moqsith Ghazali
Pilkada DKI Jakarta dua hari lalu mengagetkan banyak pihak. Ada yang kaget, kenapa suara Agus-Silvie hanya enam belas koma sekian persen. Ada juga yang geram karena suara Anies-Sandi hanya tiga puluh delapan koma sekian persen. Mestinya suara Anies Sandi itu 50% plus satu.
Tapi, ada juga yang bersyukur. Walau didemo berjilid-jilid oleh puluhan juta orang, dicaci maki di mimbar-mimbar khutbah dan pengajian, suara Basuki-Djarot bisa mencapai 43 %. Darimana angka 43 % itu? Jika jumlah umat Islam di DKI 87 %, maka tentu separuh lebih pemilih Basuki-Djarot itu adalah umat Islam.
Bahkan, tak sedikit dari team sukses dan relawan Ahok adalah alumni pesantren salaf, lulusan perguruan tinggi Islam di Timur Tengah, jebolan PTKI-IAIN, pengurus organisasi Islam. Pilihan politik mereka untuk memenangkan Ahok bukan tanpa resiko. Mereka dicap munafik, kafir, halal darahnya, didoakan cepat mati, dan lain-lain.
Saya yang bukan relawan apalagi team sukses Ahok kadang geleng-geleng kepala menyaksikan ketahanan mental mereka. Mungkin karena itu, mereka menyebut dirinya sebagai pendukung Badja (Basuki-Djarot). Akronim “badja” secara simbolik bisa menunjuk pada benda yang tahan banting; baja.
Namun, pilkada belum selesai. Stamina dua pasangan (Basuki-Djarot vs Anies-Sandi) dan teamnya harus disiapkan untuk pertarungan politik di putaran kedua. Perang kata-kata jelas tak terhindarkan. Bahkan, akan lebih seru.
Saya berdoa, semoga yang terjadi hanya sebatas perang kata-kata, tak berlanjut pada perang fisik yang bisa merugikan semua. (*)
H Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Bidang Maudlu’iyyah Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Masa Khidmat 2015-2020.