Takfiri dan Kepentingan Politik

Fenomena menggeliatnya aliran memaksa masuk ke dalam dunia politik tidak lepas dari kepentingan untuk menguasai. Penguasaan yang didasarkan kepada kepentingan golongan baik ras, suku, kepercayaan, maupun agama. Hal inilah yang bisa kita ambil pelajaran dari kepentingan-kepentingan politik dalam pilkada yang terjadi dibeberapa daerah.

Hikmah berharga yang bisa kita ambil dari keriuhan pelaksanaan Pilkada ditempat lain adalah mudahnya menebar kebencian. Panen kebencian itu seakan-akan menelan akal sehat banyak pihak. Jika terus terbiarkan, tidak tertutup kemungkinan bisa membahayakan terhadap keberlangsungan demokrasi dan integrasi bangsa kita.

Pelaksanaan pilkada adalah ritual rutinan yang akan selalu dilaksanakan diberbagai daerah. Jika tidak diantisipasi sejak dini, tidak menutup kemungkinan hal serupa juga akan terjadi meski dengan intensitas yang berbeda. Bagaimana kita mesti bersikap atas penebaran kebencian yang sedemikian rupa, terkait dengan dukung-mendukung dalam politik untuk menjadi pejabat publik?

Penebaran kebencian (hate speech) sesungguhnya bukan hanya fenomena untuk kepentingan politik saja, lebih khususnya saat pilkada, melainkan bisa terjadi pada semua lini kehidupan. Namun penebaran kebencian lebih akrab dengan kepentingan politik.

Kita bisa belajar bagaimana Hate speech bisa membuat bangsa kita terpecah belah. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, bahkan lebih tragis lagi Hate speech membuat Timur Tengah porak-poranda, bahkan sekarang merasuki Amerika dan Eropa. Oleh karena itu, Indonesia mesti waspada tinggi dengan adanya gelombang pasang kebencian ini.

Imparsial mengartikan hate speech sebagai “segala bentuk ekspresi yang menyebarkan, menghasut, mempromosikan, menjustifikasi kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme, atau segala bentuk kebencian yang didasarkan atas inteloransi, mencakup: intoleransi yang diekpresikan oleh nasionlaisme dan etno-nasionalisme agresif, diskriminasi dan permusuhan terhadap minoritas, imigran dan keturunan imigran”

Sasaran hate speech bisa saja individu maupun kelompok. Dengan pengertian konseptual seperti itu tampak betapa luas ruang untuk hate speech bisa terjadi. hate speech bisa menjadi momok, karena mudah mendorong orang atau sekelompok orang untuk menyerang kelompok tertentu, sementara negara atau pemerintah sama sekali tidak siap untuk bertindak mencegah.

Melihat fenomena politik sekarang ini, terutama terkait dengan pilkada, negara dan pemerintah perlu segera membuat koridor mengenai penanganan hate speech ini. Koridor itu diperlukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih parah dalam integrasi sosial di masyarakat. Integrasi sosial itu menjadi merapuh karena begitu tingginya politisasi identitas, baik ras, etnis, dan agama dalam rangka mendapatkan dukung populasi untuk merebut suara.

Kemunculan penebaran kebencian diantaranya terjadi pada ceramah dan khutbah yang disampaikan oleh berbagai kalangan. Doktrin-doktrin kepercayaan yang disampaikan sudah mengarah pada menyerang dan mematikan kelompok lain dalam berbagai kepentingan. Lebih-lebih ceramah dan khutbah telah dimanfaatkan untuk mendulang suara.

Kenyataan ini kemudian disikapi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk membatasi materi khutbah-khutbah yang memuat ujaran kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Namun hal ini juga menimbulkan dilema karena dirasa akan membatasi kebebasan berekspresi. Disisi lain kalau hal ini dibiarkan akan merusak toleransi yang menjunjung hak asasi.

Hate speech diperparah dengan mengkafirkan golongan lain karena faktor dukung mendukung. Cukuplah kita tahu bahwa politik takfir ini terjadi karena kepentingan kekuasaan. Ditangan golongan khowarij, pokitik takfir ini menjadi ideology yang cukup mematikan.

Tak terhitung pertumpahan darah dan korban jiwa sebagai akibat dari ideologi takfir tersebut. Menuduh orang atau/dan pihak lain sebagai kafir terbukti menjadi retorika politik yang sangat ampuh untuk mengintimidasi lawan-lawan politik. Dan bila kekuatan politik bersenergi dengan ideologi takfir, maka dampak dan kerusakan yang diakibatkannya sungguh sangat dahsyat.

Kita di Indonesia perlu belajar dari sejarah bagaimana ideologi takfir itu telah memorak-porandakan sendi-sendi kehidupan masyarakat Muslim awal dan juga kontemporer di Mesir. Semakin meluasnya politik takfir yang dipertunjukkan kelompok-kelompok tertentu, dalam bentuk selebaran dan pamflet politik di sekitar masjid, sudah sangat mengkhawatirkan.

Sungguh menggelikan bahwa sebagian kaum Muslim di Indonesia berpikir tentang nasib seseorang apakah masuk surga atau neraka ditentukan oleh dukungannya terhadap calon kepala daerah. Yang perlu ditegaskan, penilaian apakah seseorang kafir atau bukan itu semata hak Allah, bukan urusan manusia.

Dari sejarah kita seharusnya belajar bahwa konsep takfir yang diadopsi kelompok-kelompok radikal tidak terkait soal iman, melainkan problem politik dan legitimasi pemimpin. Celakanya, kita yang hidup di abad ke-21 di Negara Pancasila mengulang kesalahan masa lalu menggunakan konsep takfir untuk tujuan politik.

Demi mencegah disintegrasi sosial, hate speech harus dicegah. Alasan dasar untuk mencegahnya ada beberapa hal. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-undang ini pada pokoknya memberikan perlindungan kepada segenap warga negara Indonesia atas perilaku yang didorong oleh hate speech yang menimbulkan tindakan diskriminatif yang didasarkan pada ras atau etnis.

Dalam norma internasional, perlindungan hak asasi manusia dari sergapan hate speech dapat disimak dalam Internasional Convention on the Elemination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD). Konvensi ICERD ini menegaskan bahwa negara-negara harus bisa mempidana segala bentuk tindakan hate speech yang mendorong tindakan diskriminasi berbasis ras.

Penanggulangan hate speech mendorong tindakan diskriminatif berdasarkan agama bisa diacu International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), terutama pasal 20 yang berbunyi “pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.” ICCPR ini sekarang juga sudah diratifikasi menjadi hukum positif Indonesia, yaitu UU No. 12/2005.

Bertolak dari dua norma hak asasi manusia yang telah menjadi hukum positif di Indonesia itu, perlu kiranya pemerintah menegaskan bahwa perilaku hate speech adalah tindak pidana. Dengan adanya penegasan itu, hate speech bisa dikendalikan.

Semoga di masa-masa mendatang kita bisa menyaksikan pilkada bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga peristiwa pendewasaan berdemokrasi. Kita melihat hasutan dan ujaran kebencian tidak lagi menjadi bagian dari pilkada. Begitu pula dalam peristiwa-peristiwa politik lainnya. (*)

Rojabi Azharghany, Dosen Komunikasi Multikultural di Institu Agama Islam Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network