In Memoriam Kiai Mawi, Guru Alif yang Mendidik dengan Hati

Almarhum Kiai Mawi (berbaju batik) semasa hidupnya (santrinews.com/dardiri)
Satu lagi guru saya, Kiai Mawi (75 tahun) meninggal dunia tadi malam (30/8) sekitar pukul 22.30 WIB setelah tak tertolong oleh Dokter Rumah Sakit Sumenep.
Dering telpon yang mengabarkan meninggalnya beliau saat saya sudah merebahkan diri membuat saya kaget. Baru dua hari lalu saya duduk berdampingan dengan beliau di acara pernikahan tetangga kami, sekarang beliau sudah tiada.
Beliau bagi saya sangat berarti. Di samping karena sesepuh yang tersisa di kampung kami yang jumlahnya kian menipis, beliau juga adalah guru pertama saya, tepatnya ketika —dekade 70-an— saya masuk kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura. Dalam kearifan lokal orang Madura beliau disebut “guru alif” atau “guru rebaan”.
Mengenang masa lalu, ketika saya duduk di MI adalah pengalaman yang indah, membekas, dan tak terlupakan. Salah satu yang membentuk kepribadian saya tentu saja adalah sosok kiai Mawi.
Betul beliau tidak mengajar dengan metodologi canggih seperti saat ini, tapi ada sesuatu yang terlupa oleh pendidik saat ini, yaitu mengajar dengan hati. Keikhlasan yang memancar di wajahnya, keteduhan wajahnya cermin dari sikap sabarnya, ketelatenan wujud dari sikap istiqamahnya membekas pada saya dan juga murid-muridnya.
Beliau yang mengenalkan saya dengan huruf ا ب ت Ø« sehingga saya bisa mengaji. Beliau yang meletakkan dasar ketauhidan saya dengan mengenalkan sifat Allah yang 20 (atau di Madura disebut “sifat se wajib”). Saya dan teman sekelas menirukan lagu sifat 20 ini dari kiai Mawi dengan riangnya.
Beliau pulalah yang mengenalkan a b c d sehingga saya bisa membaca. Termasuk beliau pulalah yang mengenalkan 1 2 3 sehingga saya bisa menghitung.
Sekali lagi beliau tak menggunakan metodologi yang canggih. Di tangannya hanya ada belahan bambu agak panjang yang sudah dihaluskan. Dengan alat itulah beliau mengenalkan huruf hijaiyah, angka,dan abjad yang sudah beliau tulis lebih dulu dengan kapur di papan tulis.
Ketokan bambu pada bacaan di papan tulis menandakan kami sekelas harus mengikuti suara beliau yang dengan tekun membaca satu-persatu bacaan itu.
Jika kami berisik, beliau dengan suara halus mengingatkan kami untuk berhenti. Jika kami “berantem” beliau hadir untuk melerai dan mendamaikan. Jika kami tidak mengerti beliau dengan sabar mengulangi lagi pembelajaran. Tak ada bentakan. Tak ada hardikan. Tak ada pukulan. Betul-betul sabar “guru alif” saya ini.
Menjelang pulang beliau sering memancing kami untuk belajar disiplin. “Sapa se serep mole kaada’” (siapa yang duduk manis dan tidak berisik akan pulang duluan), begitu ucapan beliau.
Kontan kelas mendadak sepi, seperti tak berpenghuni. Beliau kemudian mempersilahkan anak yang paling “serep” duduknya, pulang duluan. Tentu saja kami pulang setelah membaca doa.
Sepulang dari kuliah, karena rumah berdekatan dan masih ada ikatan saudara, saya sering bertemu. Bahkan sering berbincang-bincang. Termasuk 2 hari sebelum meninggal kami masih bertemu di acara pernikahan anak tetangga. Setiap setengah bulan kami juga bertemu di kompolan Ta’mir Masjid yang pindah dari rumah ke rumah jamaah.
Satu lagi di samping sikap sabar, beliau tak banyak mengobral bicara, apalagi yang tidak-tidak. Kalau tidak penting beliau tidak bicara. Beliau juga tak pernah membicarakan kejelekan orang lain. Bicara yang baik atau diam. Itulah sikap beliau.
Tiadanya beliau tentu menyisakan duka, apalagi bagi penduduk desa biasanya sesepuh menjadi tempat musyawarah segenap persoalan di desa. Meninggalnya sesepuh yang ditokohkan berarti berkurang pula tokoh yang biasa menjadi tempat curhat penduduk desa.
Orang sepuh dengan kematangan spiritualnya mampu menjadi penyelesai masalah ketimbang anak muda yang biasanya mengedepankan egonya, meski kadang dibungkus dengan argumentasi yang seolah akademis dan rumit.
Selamat jalan guru. Semoga saya dan muridmu yang lain yang jumlahnya ratusan atau mungkin ribuan tak akan melupakan pengabdianmu. Semoga kami selalu ingat untuk mendoakanmu, walau sekedar surah Alfatihah.
Kami tetap akan selalu ingat sama kearifan lokal Madura, “meske ilmuna nugdug sampe’ langngi’ mon loppa ka guru alifbe tak kera manfaat” (meski ilmu setinggi langit, tapi lupa sama jasa guru alif, ilmunya tidak akan manfaat).
اللهم اغْÙÙرْ لَه٠وَارْØَمْه٠وَعَاÙÙه٠وَاعْÙ٠عَنْهÙ
Sumenep, 31 Agustus 2018