Harlah Ke-65 IPNU
Ketika Alumni Bicara Tantangan IPNU dari Masa ke Masa

Abdul Wasid saat menyampaikan orasi di acara Harlah ke-65 IPNU di halaman Kantor BMT NU Gapura, Sumenep, Rabu malam, 27 Februari 2019 (santrinews.com/istimewa)
Sumenep – Peringatan Harlah ke-65 IPNU Kecamatan Gapura, Sumenep, pada Rabu malam, 27 Februari 2019, terasa sangat spesial. Pasalnya, para alumni IPNU dari lintas generasi berkumpul.
Kegiatan yang berlangsung di halaman Kantor BMT NU Gapura itu ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Gapura Kiai Sahid Munawar.
Salah satu alumni IPNU generasi 1980-an, Kiai A Dardiri Zubairi, turut hadir memberikan testimoni. Ia mengawali dengan bercerita pengalamannya masa-masa aktif di IPNU.
Baca juga: Pelajar Putri NU Hadapi Tantangan Kolonialisasi Digital
Menurut Kiai Dardiri, setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda. Begitu juga yang dihadapi IPNU. “IPNU itu harus lebih meningkatkan kapasitas diri baik pemahaman aswaja, arus teknologi,” kata Wakil Ketua PCNU Sumenep ini berpesan.
Pergeseran budaya akibat perkembangan teknologi yang cukup pesat tentu berdampak besar bagi generasi yang disebut generasi milenial. Ia menyebut, misalnya, budaya baca sekarang sudah bergeser menjadi budaya komentar di media sosial.
Karena itu, ia berpesan agar kader IPNU harus mengimbangi budaya komentar itu dengan membaca. “Lebih kiat mengaji, membaca,” tegas pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Mutaallim Gapura ini.
Baca juga: Harlah Ke-65, IPNU Mandiri Membangun Negeri
Gerakan pengembangan kaderisasi ke lembaga-lembaga pendidikan juga harus digelakkan. Agar para pelajar di sekolah-sekolah mengenal dan cinta terhadap IPNU.
Selain itu, Kiai Dardiri juga berpesan agar kader IPNU tidak apatis terhadap politik dan isu-isu lingkungan. “Sebab masa depan itu ada di tangan kalian,” tandasnya.
Harlah IPNU juga diisi orasi oleh Sekretaris PC GP Sumenep, Abdul Wasid. Ia juga alumni IPNU.
Wasid mengingatkan kader IPNU untuk tidak terjebak dengan para ustadz google yang yang sanad keilmuannya tidak jelas. “Dengan bagitu sebagai generasi NU, kader IPNU harus berguru dan membaca buku atau kitab,” tegasnya.
Wasid berpesan agar program IPNU lebih kreatif, inovatif, edukatif dan relegius. Misalnya ketika kegiatan formal seperti Makesta. “Seperti ngaji bersama, tahlilan berjamaah harus diterapkan,” pesanya.
Dulu rezim Orde Baru melarang organisasi pelajar selain OSIS. IPNU pun terpaksa harus berubah menjadi putra, bukan pelajar.
Wasid lalu bercerita pengalamannya mengikuti kongres IPNU pada 2003 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Di kongres ini, IPNU kembali menjadi pelajar. “Saya ikut ketika IPNU kembali pada pelajar,” kisahnya. (rus/onk)