Seri Sembarangkalir

Etika Kaum Awam dan Khawas

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

MENJADI orang awam dan menjadi orang khawas, masing-masing memiliki etika sendiri-sendiri. Yang saya maksud dg etika di sini adalah aturan main untuk bersikap dan berprilaku. Jika masing-masing pihak konsisten mengikuti etika ini, insyaallah tak akan terjadi kekisruhan sosial yang kurang perlu.

Orang awam di sini saya maksudkan sebagai mereka yang tak menguasai bidang tertentu. Sementara orang khawas adalah sebaliknya: mereka yang memiliki keahlian itu.

Kategori awam dan khawas bukanlah kaku dan beku, melainkan cair dan dinamis. Ada orang-orang yang khawas dalam bidang tertentu, tetapi awam di bidang yang lain. Ada seseorang yang ilmunya mencapai level doktor dalam bidang fikih, tetapi nol besar dalam bidang fisika. Kita bisa menyebut: orang bersangkutan adalah khawas atau “expert” dalam bidang fikih, tetapi awam belaka dalam bidang fisika. Et cetera, et cetera.

Tak ada ada orang yang “khawas” dalam semua bidang. Tetapi ada orang-orang tertentu yang bisa saja awam dalam semua bidang. Pada umumnya, orang adalah khawas di bidang tertentu, awam di bidang lainnya. Di era spesialisasi sekarang ini, nyaris sulit mencari seorang ensiklopedis (mausu’i) yang tahu mengenai semua bidang.

Kembali ke pokok soal: perihal etika orang khawas dan awam.

Jika terjadi suatu perdebatan dalam isu tertentu yang membutuhkan keahlian yang spesifik, etika yang sebaiknya diikuti oleh orang awam adalah: jangan ikut campur terlalu jauh, apalagi melakukan pemihakan pada salah satu pihak dengan cara-cara “politis”. Biarkan orang-orang khawas, orang-orang yang ahli, berdebat mengenai isu itu hingga tuntas.

Kaum awam sebaiknya menonton saja, sambil menunggu hasil akhirnya. Boleh saja memihak salah satu kubu dalam perdebatan itu, tetapi orang awam harus tahu diri akan keawamannya. Jangan memihak terlalu jauh, emosional, hingga hilang kontrol-diri dan menuduh pihak lain sesat, kafir, murtad, dsb.

Orang awam harus tahu filosofi Jawa yang terkenal itu: “ngono ya ngono ning aja ngono”. Begitu ya begitu, tetapi mbok ya tahu batas. Filosofi ini sangat penting diingat oleh kaum awam, apalagi di zaman ketika kecenderungan “takfir” berkecambah saat ini.

Kaidah ini penting dipegang ketika perdebatan masuk ke perkara yang dari sono-nya memang sudah sensitif dan mudah memantik api emosi. Misalnya soal-soal agama. Saya kerap melihat orang-orang awam yang sebetulnya ndak tahu duduk-berdirinya suatu masalah, lalu ikut-ikutan “ngeblok” (=berpihak) salah satu kubu yang sedang berdebat, seraya memaki-maki kubu lain.

Orang semacam ini bisa kita sebut sebagai orang awam yang “geblek”, ndak tahu diri. Mengutip istilah Imam Ghazali, mereka ini adalah orang “bodoh kwadrat” (jahl murakkab). Yaitu, orang bodoh yang ndak sadar bahwa dirinya bodoh. “Jahilun la yadri, wa la yadri annahu la yadri”.

Oke, itu adalah etika orang awam. Lalu, apa etika orang khawas?

Orang khawas yang memiliki keahluan di bidang tertentu sebaiknya tak sering-sering mengobral hal-hal “sensitif” yang tak seharusnya dikemukakan kepada publik yang tak terlalu menguasai masalah. Jika orang-orang khawas mau berdebat tentang hal-hal spesifik, dan apalagi sensitif, sebaiknya mereka lakukan hal itu dalam lingkungan “akademis” yang terbatas.

Itu etika yang pertama. Saya hendak menyebutnya sebagai “ethics of space”. Etika ruang. Apa yang disebut sebagai ruang publik yang terbuka, ruang yang biasanya dihuni oleh publik yang awam, sebaiknya disikapi secara hati-hati dan bijaksana oleh kaum khawas.

Seperti kata pepatah Arab, “li kulli maqamin maqal” — setiap konteks memiliki jenis pembicaraan yang cocok untuknya.

Etika kedua: kaum khawas jangan sekali-kali melakukan “politisasi” atas perdebatan yang berlangsung secara terbatas di lingkungan akademis. Yang saya maksud dengan “politisasi” di sini adalah membawa perdebatan yang semula hanya untuk kaum spesialis kepada orang awam, serta memprovokasi pihak yang terakhir ini agar mendukung posisi dia.

Contoh yang relevan untuk kita sekarang: membawa debat akademis ke mimbar Jumat, lalu dengan cara-cara “kotor” memprovokasi jamaah Jumat yang sebagian besar adalah awam untuk memihak kubu tertentu, seraya memaki dan mengkafirkan pihak lain.

Politisasi perdebatan semacam ini biasanya dilakukan oleh kaum “demagog” (al-khathabiyyun/al-sufistha’iyyun). Dalam segala bidang, kaum demagog sangatlah berbahaya. Sebab tujuan mereka ini bukanlah mencari kebenaran (al-haqiqah). Yang penting bagi mereka adalah dukungan massa sebesar-besarnya. Kaum demagog hanya peduli dengan “kebenaran politis”.

Jika masing-masing pihak tahu etika ini, dan tidak bertindak sembarangan, maka kegaduhan sosial yang sering kita lihat selama ini relatif bisa dihindari.

Para filsuf Muslim klasik menyadari benar pentingnya etika semacam ini. Inilah yang menjelaskan kenapa para filsuf Muslim di era klasik dulu menulis karya-karya filosofis dalam bahasa yang susah dipahami oleh awam.

Menurut Leo Strauss, seorang filsuf Amerika yang banyak mengkaji pemikiran Al-Farabi dan Maimonides (filsuf Yahudi dari Spanyol yang hidup sezaman dengan Ibn Rusyd), gaya menulis yang “gelap” dan sulit dipahami itu bukan kebetulan, melainkan “tindakan etis” yang disengaja oleh para filsuf itu.

Kenapa?

Tujuannya, kata Prof. Strauss, agar orang awam yang tak menguasai masalah menyingkir dari naskah-naskah para filsuf itu. Sebab, mereka tak menghendaki teks mereka dibaca oleh para pembaca yang tak kompeten, lalu menimbulkan salah paham, mungkin juga kontroversi. Kata-kata penyair Chairil Anwar yang terkenal dulu, mungkin layak disitir di sini: Yang bukan penyair, menyingkir!

Dalam bahasa digital sekarang, gaya menulis yang gelap dan sulit pada para fulsuf Muslim klasik seperti Al-Farabi dan Ibm Sina itu adalah semacam teknik enkripsi.

Ulasan yang menarik mengenai ini bisa dibaca dalam buku Prof. Leo Strauss yang sudah klasik: Persecution and the Art of Writing (terbit pertama kali pada 1952).

Sungguh bijak sekali para filsuf Muslim klasik itu! Intinya: Baik orang khawas maupun orang awam memiliki tanggung-jawab sosial masing-masing. (*)

Jakarta, 29 Juli 2016

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network