Refleksi

Ikhtiar Berpikir Moderat

Oleh: Hasan Abadi

Berjam’iyah memang tidak mudah, membutuhkan keikhlasan, disiplin organisasi dan energi yang besar serta stamina yang mantap. Banyak organisasi yang mati atau setidaknya tidak berkembang karena, yang pertama, bisa jadi pemimpinnya kurang melaksanakan amanah organisasi. Bisa juga karena anggota yang memilihnya tidak taat pada organisasi.

Sebagai anggota sebuah organisasi kita bisa tidak setuju dengan kebijakan organisasi. Namun bila kita ingin tetap solid dan besar yang pertama pemimpin harus amanah dan yang kedua jemaah harus taat.

Bila terjadi perbedaan pandangan terhadap sebuah kebijakan, maka para Kiai kita sudah memberi uswah. Prof KH Ali Yafie mundur dari PBNU karena PBNU terindikasi menerima sumbangan Mensos yang dananya diambil dari SDSB. KH Raden As’ad Syamsul Arifin “˜mufaroqoh’ karena tidak sepakat dengan Gus Dur (sebagai ketua umum PBNU). Waktu itu, Kiai As’ad menggambarkan “˜imam kentut, sehingga makmum (harus) memisahkan diri. Yang perlu kita ingat, Kiai yang mufaroqoh itu tidak mengajak-ngajak yang lain untuk mufaroqoh dan menentang keputusan organisasi.

Mungkin meski tidak bisa digebyah uyah kata-kata George Washington, pendiri Amerika, yang membuat Amerika saat ini menjadi bangsa yang besar perlu direnungkan: right or wrong is my country (benar atau tidak ini adalah negaraku).

Setahu saya, PBNU dalam hal ini tidak pernah ada kebijakan yang membela gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, hanya tidak ikut saja dalam aksi massa yang memperkarakan Ahok. Rois Syuriah PBNU sudah mengatakan apa yang dikatakan Ahok itu perbuatan yang menistakan Al-Quran sehingga patut diproses hukum. Dan proses hukum sudah berjalan. Sekarang kita tinggal mengawal saja tanpa harus menekan-nekan.

Mungkin para Kiai kita yang struktural yang tidak ambil bagian dari aksi itu berpikir memakai qaidah Dar’ul mafaashid muqaddamun ala Jalbil mashoolih, mencegah kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kebaikan. Kerusakan dalam hal ini adalah NKRI, Negara kesatuan Republik Indonesia, yang salah satu pendiri Indonesia merdeka melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah KH A Wahid Hasyim yang mewakili pendiri NU dan Rois Akbar NU Haddratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Bila NKRI terancam maka Islam Aswaja An-Nadhliyah ikut terancam.

Namun diluar itu kalau dengan Ahok yang non muslim saja kita bisa memahami, apalagi dengan yang muslim seperti Habib Rizieq, dll apakah kita tidak bisa memaafkan? bukankah kita mengenal Q.S. Ali Imran 159? Kita diharuskan untuk linta lahum, berlaku lemah lembut terhadap mereka.

Maka disebabkan oleh rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya. (Q.S. Ali Imran:159).

Dan dalam catatan tarikh Nabi Muhammad SAW kalau mengajak selalu dengan lembut, Wali Songo juga lembut, kecuali ketika mempertahankan diri. Dan biasanya yang mempertahankan diri itu yang belum sampai keadaan mayoritas atau diserang dengan ancaman perang.

Saat ini NU sudah mayoritas. Cara berpikir mayoritas mestinya tidak “tipis telinga” alias mudah “ghodhob”, bukankah Nabi kita yang kita junjung dan selalu kita shalawati mengingatkan kita, bahkan sampai berkali-kali, laa taghdhob, laa taghdhob, laa taghdob. Di dunia internasional, NU diminati karena rahmah dan ramahnya bukan karena marahnya marah-marahnya. (*)

Kepanjen, Malang, 24 November 2016

Hasan Abadi, Ketua PC GP Ansor Kabupaten Malang.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network