Seribu Nyawa Islam Tradisional

Oleh: Abdul Moqsith Ghazali

ISLAM tradisional sudah tahan uji. Bertahun-tahun Islam tradisional hendak dihancurkan melalui gerakan purifikasi Islam. Tapi selalu gagal. Alih-alih pengikut Islam tradisional susut, bahkan mengalami lonjakan elektabilitas.

Coba perhatikan acara tahlilan, istighatsah, mauludan, yang terus merebak di mana-mana. Tahlilan dan mauludan kini tak lagi menjadi aktivitas kelompok Islam tradisional saja. Tahlilan juga sudah menjadi ritual kelompok Islam modernis. Mereka yang dulu anti tahlilan sekarang malah rajin tahlilan.

Begitu juga dengan tasawuf dan tarekat. Jika dulu laku tasawuf dan tarekat identik dengan perilaku umat Islam tradisional, maka belakangan kelompok Islam modern tak mau ketinggalan; rajin tarekatan juga.

Studi-studi tasawuf di kota-kota besar seperti Jakarta cukup semarak. Saya yang bukan ustadz dan bukan kiai, sering kebagian jatah untuk mengisi pengajian-pengajian tasawuf. Tasawuf yang kini paling digemari masyarakat Islam kota adalah tasawuf Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athaillah al Sakandari.

Fenomena ini menimbulkan kegelisahan baru di lingkungan ustadz-ustadz wahabi. Mereka geram terhadap makin masifnya ritual-ritual Islam tradisional yang menurut mereka penuh kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan churafat.

Namun, kaum wahabi seperti membentur tembok tebal. Islam tradisional tak juga mati. Ia seperti punya seribu nyawa. Islam tradisional tampaknya masih akan hidup lebih seribu tahun lagi. (*)

Selasa, 7 Maret 2017

Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Bidang Maudlu’iyyah Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Masa Khidmat 2015-2020.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network