Berakhir Tahun dengan Haul Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bersama Mbah Liem dalam acara Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung, pada 1992 (santrinews.com/tempo)
Rabu, 30 Desember 2009 merupakan hari berkabung nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) meminta seluruh masyarakat untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama sepekan. Ini pertanda negara sedang berduka.
Salah satu putra terbaik bangsa meninggal dunia. KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dinyatakan wafat oleh Ketua Tim Dokter Kepresidenan dr Yusuf Misbah, sebab penyakit komplikasi, ginjal, diabetes, stroke dan jantung.
Gus Dur meninggal pada usia 69 tahun di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, pukul 18.45. Ini akhir dan awal kehidupan Gus Dur di dunia lain.
Langit Indonesia mendung, dan bumi pertiwi menangis. Ratusan juta penduduk merasa kehilangan sosok panutan. Gus Dur transit dari alam fana ke alam baqa. Memang, tubuhnya sudah dikebumikan di makam keluarga Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Tapi ruhnya hidup di sisi Tuhan Yang Maha Hidup dan Tak Akan Mati.
Dalam Al-Quran Surat Al-Isra’/17:85, Allah SWT berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku. Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Kata ruh dalam Al-Quran bermakna Al Qur’an, malaikat Jibril dan roh badan. Ulama menafsirkan roh badan dengan beberapa pengertian.
Al-Rozi dan Ibnu Qayyim mengartikan roh itu cahaya yang tak bisa dilihat dan tak bisa diraba. Ia mengalir dalam tubuh manusia yang sanggup dan mampu menerimanya. Ia seperti air dalam bunga, dan seperti api dalam bara.
Sementara, Imam Al-Ghazali dan Abu Qosim Al-Ragib Al-Asfahani mengartikan roh dengan sesuatu yang tak berbentuk materi. Ia bergantung pada tubuh dan manusia hanya bisa menangkap gejalanya. Nafas adalah gejala roh dalam tubuh.
Secara umum, nafas dijadikan pertanda hidup atau mati manusia. Selama manusia masih bernafas, berarti ia masih hidup. Dan begitu pula sebaliknya.
Mati adalah keadaan tubuh manusia, dimana seluruh organ tubuh tak berfungsi. Nafas berhenti, jantung tak berdetak, tangan-kaki tak bergerak, mata, hidung, mulut, telinga dan seluruh organ tubuh yang lain berhenti berfungsi.
Jadi, tubuh Gus Dur memang sudah mati ditimbun tanah, tapi rohnya tetap hidup di sisi-Nya. Ia cahaya yang menerangi kehidupan manusia yang sanggup dan mampu menangkap ajaran dan sejarah hidupnya.
Roh Gus Dur termasuk bagian dari urusan Tuhan. Suatu perkara yang sedikit diketahui manusia. Yang banyak adalah ilmu hikmah. Andai ditulis dengan tinta air laut, maka tidaklah cukup. Demikian luas ilmu Allah SWT.
Oleh karena itu, tagline kampanye KH Yahya Cholil Staquf, “Menghidupkan Gus Dur” yang telah menghantarkan menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), pasti dalam konteks pengertian immaterial. Yaitu roh pemikiran dan perjuangan Gus Dur.
Ternyata, 12 tahun setelah sepeninggalnya, Gus Yahya bertekad melanjutkan ide, visi dan idealisme Gus Dur tentang NU, Indonesia dan dunia. Gus Dur hadir dalam sosok Gus Yahya untuk melanjutkan berbagai agenda perjuangan kemanusiaan tersebut.
Haul Gus Dur di akhir tahun 2021, merupakan glorifikasi profil, pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Suatu proses pemuliaan dan pengagungan Gus Dur yang mengalami persekusi setelah lengser keprabon dari kursi Ketua Umum PBNU dan Presiden Indonesia.
Muktamar ke-34 NU pada 2021 di Lampung, telah memenangkan Gus Dur kembali setelah serangkaian kekalahan dalam perjuangan mempertahankan kursi kepresidenan, kegagalan dalam mencalonkan diri menjadi Rais Aam PBNU, serta tersingkir dalam perebutan kepemimpinan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Ternyata, Gus Dur tetaplah sesuai dengan nama yang diberikan oleh ayahanda KH Wahid Hasyim, “Abdurrahman Addakhil” (Abdurrahman Sang Penakluk). Ia tetap sosok penakluk yang menaklukan hati ratusan juta manusia mengikuti jalan demokrasi, pluralisme dan humanisme.
Menjelang akhir tahun kerbau dalam astrologi China, kita merayakan haul Gus Dur dengan mengambil pelajaran sangat penting. Bahwa kebenaran pasti menang, dan kebatilan pasti kalah. Sebab kebenaran itu datang dari Tuhan.
Sebagai penutup, Gus Dur berkata, “Tuhan tak perlu dibela. Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil”. Mereka kaum mustad’afin yang dilemahkan oleh kekuatan kuasa dan modal. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.