Telasan Lontong, Tradisi Walisongo dan Kedaulatan Bangsa
Di ujung timur wilayah Jember, Jawa Timur, ada sebuah kecamatan. Namanya Kecamatan Silo. Kecamatan ini dihuni oleh 94,5 ribu penduduk dan terdiri dari 9 desa. Salah satunya Desa Sempolan. Disinilah tempat tumpah darah saya. Dari sini pula, saya kenal tradisi “telas lontong” atau “telasan lontong”, suatu hari raya ketupat yang diselenggarakan 7 hari setelah hari raya Idul Fitri.
Keluarga tak pernah ketinggalan dengan “telas lontong” ini. Sejak kecil sampai jelang kepala lima, saya tak pernah melewati momen makan ketupat dengan semur daging atau opor ayam. Ini tradisi lokal yang terjaga dan terpelihara sampai sekarang. Benar kata sebuah ungkapan, “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah.”
Warisan Sunan Kalijaga
Telas lontong sesungguhnya sebuah ritual syukur puasa syawal dan sunnah berbagi makanan terhadap saudara dan tetangga. Tradisi ini ternyata berlaku di seluruh Nusantara sebagai warisan adiluhur muslim Indonesia.
Riyoyo Kupat dalam istilah tradisi Islam Jawa, merupakan cermin khazanah Islam budaya. Menurut para ahli sejarah, telas lontong adalah peninggalan Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Said yang lahir 1450 dan meninggal 1513 Mesehi. Putra Adipati Tuban ini dikenal sebagai Walisongo yang berdakwah melalui budaya lokal.
Baca juga: Tellasan, Ter-ater, dan Tradisi yang Dirindukan
Oleh karena itu, telas lontong merupakan produk unggul budaya lokal. Budaya ini bisa tetap lestari sampai 6 abad lamanya lantaran bisa lolos dari seleksi alam. Budaya ini dinilai masih bermanfaat untuk menguatkan ajaran Islam satu sisi dan khazanah budaya sisi lain. Mustahil, sinkritisme budaya bertahan dari gempuran gerakan pemurnian Islam, tanpa umat merasakan nilai manfaat telas lontong tersebut.
Telas lontong merupakan identitas budaya muslim Indonesia. Dalam perspektif culture defence (ketahanan budaya), sebagai identitas di dalamnya mengandung kebanggaan, kecintaan, kesetiaan, kepercayaan, pelestarian, pembelaan dan pengorbanan dalam menjaga dan memelihara telas lontong itu. Inilah latarbelakang kekuatan sebuah adat istiadat bisa lestari dan abadi di tengah kehidupan masyarakat.
Kuliner Nasionalisme
Selain itu, telas lontong mengandung wisata kuliner. Bagi kaum urban dan wisatawan mancanegara, wisata kuliner merupakan wisata budaya yang paling populer dan diminati. Apalagi, produk lontong itu suatu karya kuliner Nusantara.
Lontong merupakan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus daun pisang atau janur atau plastik yang dimasak dengan cara direbus. Makanan khas ini memiliki kesamaan dengan jenis ketupat, lontong balap, lontong cap go meh, lontong gulai, lontong krupyuk, lentog tanjung, arem-arem, lemper dan lain sebagainya.
Semua jenis makanan di atas sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Makanan sehari-hari yang lazim menjadi menu sarapan pagi di seluruh wilayah Nusantara. Ditambah lagi, pada hari raya ketupat, lontong disajikan dengan istimewa dan dimasak dengan penuh cinta. Lontong terasa bukan hanya makanan bergizi tinggi tapi penuh berkah. Hal ini karena lontong menjadi menu silaturahmi dan puasa enam hari.
Pasca kemerdekaan, Bung Karno mengumpulkan resep makanan dari seluruh wilayah Nusantara. Tujuannya untuk merekam jejak selera makanan khas Indonesia. Makanan dalam pandangan proklamator juga dapat menjadi alat pemersatu bangsa. Cita rasa makanan yang beragam menunjukkan kebhinekaan budaya bangsa. Kuliner cermin dari nasionalisme. Kuliner Indonesia wujud dari nasionalisme Indonesia pula.
Jadi, negara dan rakyat sejatinya punya kepentingan yang sama untuk merawat tradisi telas lontong sebagai lambang kepribadian bangsa. Betapapun di era pasar bebas, kuliner dunia membanjiri pasar dalam negeri, makanan khas rakyat Indonesia harus tetap menguasainya. Bila tidak, sama halnya kita kehilangan kedaulatan pangan yang berujung pada kehilangan kedaulatan bangsa. Na’udzu billahi min dzalik. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.