Hadis “Ya Bunayya” dan Kiai Ali Mustafa Yaqub

Dalam Sunan Abi Dawud terdapat satu bab yang tampaknya sederhana dan isi hadisnya pun singkat, tetapi tidak sesederhana kandungannya baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Imam Abu Dawud menulisnya dengan judul “Bab tentang seseorang yang memanggil anak orang lain dengan: ya bunayya/hai anakku”.

Dalam bab tersebut, Imam Abu Dawud hanya meriwayatkan satu hadis melalui jalur Anas ibn Malik Ra:

عن أنس بن مالكِ، أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال له:” يا بُنَيَّ”

Dari Anas ibn Malik Ra, “Sesungguhnya Nabi saw berkata kepadaku: wahai anak kecilku.” (HR. Abu Dawud).

Selain Abu Dawud, hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, sehingga kualitasnya pun dianggap shahih.

Muhammad Syamsul Haq Adzim Abadi dalam kitab Awnul Ma’bud yang merupakan penjelas (syarh) kitab Sunan Abi Dawud mengomentari bahwa hadis ini menjadi dalil kebolehan memanggil anak orang lain yang masih kecil dengan panggilan “ya bunayya/wahai anakku.” Bukan berarti dengan sebutan itu anak tersebut secara otomatis menjadi putranya.

Kiranya hadis itu tidak hanya sekedar melegitimasi kebolehan memanggil anak orang lain dengan sebutan “anakku.” Lebih dari itu, ada pesan tersirat di dalamnya.

Adalah suatu kewajaran jika seorang ayah memanggil putra kandungnya dengan sebutan “anakku”. Tetapi beda rasanya jika sebutan itu diarahkan ke orang lain yang bukan putra kandungnya. Hal demikian inilah kiranya yang dirasakan oleh Anas ibn Malik dari hadis di atas.

Sebagaimana kita tahu, Anas ibn Malik adalah seorang sahabat Nabi Saw yang mengabdikan diri sebagai khadim (pembantu)-nya. Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah, Anas masih belia, berusia sekitar 10 tahun.

Saat itu, Anas diantar oleh ibundanya menghadap Rasulullah Saw seraya berkata “Ini adalah Anas, anak yang pandai yang akan menjadi pembantumu”. Maka Nabi pun menerimanya.

Maka ketika Anas ibn Malik resmi mengabdi dan memposisikan diri sebagai pembantu Rasulullah Saw, lalu ia dipanggil dengan sebutan “anak kecilku” oleh majikannya. Saat itulah ada rasa berbeda yang membahagiakan.

Melalui panggilan itu, Rasulullah Saw hendak menunjukkan kelembutan sekaligus kedekatan bahwa Anas ibn Malik memiliki kedudukan khusus di hati beliau. Memang ia hanya sekedar khadim, tetapi Rasulullah Saw teramat menyayanginya hingga seperti putranya sendiri.

Sikap yang demikian penulis temukan di antaranya pada sosok Kiai Ali Mustafa Yaqub. Sudah jamak diketahui bahwa beliau biasa memanggil para santrinya dengan sebutan “ya abna’i/wahai anak-anakku”. Melalui sebutan itu, beliau hendak memposisikan para santrinya seperti putranya sendiri. Toh memang beliau menganggap mereka sebagai putranya.

Tidak jarang Pak Kiai menjelaskan bahwa kedudukan putra itu ada dua. Pertama, putra biologis: anak yang lahir dari rahim ibunya dan mengalir darah daging ayahnya dalam dirinya. Dan kedua, putra ideologis: anak, pelajar atau santri yang belajar kepada guru atau kiainya serta mewarisi pemikirannya.

Dari sini, Pak Kiai Ali Mustafa Yaqub —Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat— menganggap para santrinya sebagai putra ideologis, sehingga layak dipanggil dengan sebutan “anakku”.

Jika sudah begini, siapa santri yang tidak berdesir hatinya kala dipanggil “anakku” oleh kiainya? Siapa santri yang tidak melayang-layang bahagia saat sang kiai memposisikannya sebagai “putra”? Duh betapa indah dan syahdunya panggilan itu.

Semoga Allah merahmati guru kami di alam sana. Ayahanda Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA yang pada Maret 2021 ini akan diperingati Haulnya yang ke-5. Rahimahullahu rahmatan wasi’ah. Amin. (*)

Ulin Nuha, Alumni Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat.

Terkait

Hikmah Lainnya

SantriNews Network