Maklumat Pesantren Cipasung: Muktamar NU Melenceng dari Khittah

KH Maruf Amin (kiri) bersama KH Said Aqil Siradj (tengah) usai terpilih sebagai Rais Aam Syuriah dan Ketua Umum PBNU periode 2015-2020, di Muktamar Ke-33 NU di Jombang awal Agustus 2015 lalu (santrinews.com/antara)
Cipasung – Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya mengeluarkan “Maklumat Penegakan Kembali Khittah 1926”. Pesantren Cipasung menyatakan, saat ini NU telah melenceng dari khittah atau tujuan dasar dan garis perjuangan organisasi yang didirikan para kiai pesantren itu.
Penyelenggaraan Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015 lalu, dinilai telah mengabaikan sikap akhlakul karimah atau budi pekerti.
Pemimpin Pesantren Cipasung KH Ahmad Bunyamin Ruhiyat dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 1 Oktober 2015, mengatakan, muktamar itu telah mengakibatkan NU kehilangan jati diri dan berkah perjuangan. Hal itu ditandai dengan menurunnya akhlakul karimah an nahdliyyah atau etika berdasarkan nilai dan ajaran NU.
Dia menilai, proses Muktamar ke-33 NU di Jombang dan produk yang dihasilkannya, produk pemikiran/ajaran (manhaji) maupun organisasi, sama sekali tidak mencerminkan dan menjamin tegaknya dua prinsip Khittah NU.
Dua prinsip itu ialah pemurnian dan pengembangan ajaran dan prinsip kemandirian NU dari ketergantungan kepada partai politik. Pemurnian artinya hanya mereka yang berideologi dan mempunyai sikap keagamaan Ahlussunah wal Jamaah An Nahdliyah yang boleh memimpin organisasi NU.
Sedangkan pengembangan adalah bagaimana ajaran NU dikembangkan untuk memenuhi perkembangan zaman.
“Pengembangan ini harus jelas miqat-nya (tolok ukur), yakni keaslian ajaran Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Karena tanpa miqat yang jelas akan terjadi pengubahan dan penggeseran arah dan haluan perjuangan NU, sehingga NU akan menjadi NU yang lain dari aslinya,” ujar Bunyamin.
Dia menjelaskan, hal yang dimaksud dengan kemandirian adalah tata nilai yang rahmatan lil alamin ala NU seharusnya menjiwai gerakan kebangsaan, termasuk menjiwai seluruh partai-partai politik. “Bukannya partai politik/firqah yang lain yang menguasai dan mengendalikan haluan NU,” ujarnya menambahkan.
Menurut dia, diperlukan sebuah Majelis Penegakan Khittah NU guna menyelamatkan dan mengembangkan NU menjelang umur seabad usianya. “Kami menyerukan agar para ulama NU dan warga nahdliyyin untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran Ahlussunah wal Jamaah An Nahdliyyah sesuai prinsip-prinsip Khittah NU.”
Pesantren Cipasung
Pesantren Cipasung adalah salah satu pesantren terbesar dan berpengaruh di Jawa Barat. Didirikan KH Ruhiat di Singaparna, Tasikmalaya, pada tahun 1931. KH Ruhiat juga dikenal sebagai pendiri NU di Jawa Barat.
KH Ruhiat lebih populer disebut Ajengan Ruhiat. Dia sedikitnya empat kali masuk-keluar penjara karena melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda: pada 1941, 1942, 1944, dan 1948.
Pemerintahan kolonial Hindia Belanda cemas melihat kemajuan Pesantren Cipasung. Pesantren ini dinilai telah menghasut rakyat untuk bersikap anti-penjajahan yang dianggap dapat mengganggu stabilitas.
Meski mendukung sepenuhnya perjuangan Partai NU, ia tak mau menjadi politikus yang berjuang di parlemen. Menurutnya, bagian politik sudah ada ahlinya dan ia cukup memimpin pesantren saja. Kalau pesantren ditinggalkan, ia khawatir pengajar masyarakat di bidang agama akan semakin berkurang. (shir/viva)