Tak Pakai PP Pengupahan, Kenaikan UMP Lebih Kecil
Jakarta – Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015 tentang Pengupahan terbukti menguntungkan kalangan buruh. Dari 28 propinsi yang telah melaporkan penetapan upah minimum propinsi (UMP) 2016 kepada Pemerintah, 15 propinsi diantaranya belum mengikuti sistem formula dalam PP Pengupahan.
Hasilnya, kenaikan upah minimum di daerah tersebut relatih kecil, berkisar antara 6-9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11.5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Demikian rangkuman data kenaikan UMP yang disampaikan oleh Menaker M Hanif Dhakiri di Jakarta, Selasa, 24 Nopember 2015.
“Jelas bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan itu sangat menguntungkan buruh. Faktanya, dari semua propinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11.5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS,” ujarnya.
Adapun propinsi yang tidak menggunakan PP Pengupahan, kenaikan UMP-nya berkisar 6-9 persen. Jadi malah lebih kecil kenaikannya kalau tidak pakai PP Pengupahan,” lanjutnya.
Oleh karenanya, tambah Hanif, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh.
Hanif juga menambahkan bahwa PP Pengupahan bukan hanya menguntungkan buruh tapi juga menguntung mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha.
“Semuanya diuntungkan dengan PP Pengupahan ini. Buruh diuntungkan karena upah pasti naik setiap tahun dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Dunia usaha juga diuntungkan karena ada kepastian menyangkut besaran kenaikan upah setiap tahun, sehingga dunia usaha bisa berkembang dan memperbanyak lapangan kerja. Kalangan pengangguran yang 7.5 juta orang atau mereka yang belum bekerja juga diuntungkan karena peluang kerja makin banyak sehingga mereka bisa masuk ke pasar kerja dan mendapat pekerjaan untuk penghidupan mereka,” jelasnya.
Menurut Hanif, di luar itu juga masih banyak keuntungan yang didapat buruh dengan adanya PP Pengupahan. Misalnya, diatur juga mengenai pendapatan non-upah seperti bonus, THR, uang service dan lain-lain yang menjadi hak buruh.
Buruh yang berhalangan, baik karena sakit atau menjalankan tugas serikat pekerja juga wajib dibayar. Struktur dan skala upah dimana pengupahan mempertimbangkan masa kerja, golongan/jabatan, pendidikan, prestasi dan lain-lain juga wajib diterapkan oleh perusahaan, sehingga upah buruh bisa adil, proporsional dan layak.
Perusahaan yang tidak menjalankan struktur dan skala upah diancam sanksi sesuai UU 13/2003 dan ditambah sanksi administratif dalam PP Pengupahan, seperti sanksi pemberhentian sebagian atau seluruh proses produksi hingga pembekuan perusahaan.
“Banyak sekali keuntungan yang diperoleh buruh dengan PP Pengupahan. Saya gagal paham kalau masih ada yang menolak, kecuali karena ada kepentingan yang bersifat non-buruh,” terangnya.
Oleh karenanya Hanif berharap semua pihak dapat menerima PP Pengupahan sebagai kebijakan terbaik yang bisa diambil saat ini. “Dalam hidup bernegara, siapapun bisa sampaikan aspirasi. Tapi harus dipahami, kita tidak bisa memaksakan kehendak sendiri. PP Pengupahan ini sudah win-win, semua menang,” pungkasnya. (us/onk)