Berislam Nusantara Sembari Merokok dan Minum Kopi
Saya sedang tidak bercanda dengan judul tulisan ini. Saya sungguh-sungguh sadar dan serius ketika memilihnya. Sebagai pendukung wacana ini, tentu saja judul itu pun pastilah tak bermaksud meremehkan diskursus Islam Nusantara yang lagi berdentum di mana-mana.
Lantas, ada apa Islam Nusantara dengan persoalan rokok dan minum kopi? Bukankah minum kopi, khususnya rokok, dalam diskursus Fiqih Islam, lebih banyak yang tidak menyetujui. Minum kopi, misalnya, dianggap mendatangkan mudharat oleh ulama semacam Syeikh Abtawi dari Syiria, Syeikh al-Syanbathi, dan Ibnu Sultan dari Mesir.
Meski di posisi yang berseberangan, banyak pula ulama di barisan itu. Adapun rokok, jangan ditanya lagi. Masyhur ulama menganggapnya makruh dan tidak sedikit yang menyatakan haram. Di barisan terakhir ini, ada al-Qolyubi, Al-Laqani, dan al-Bujairomi. Tentu juga kita masih ingat fatwa MUI, yang mengharamkan rokok bukan?
Di sinilah letaknya. Terkait rokok dan minum kopi inilah, salah satu ulama nusantara, Syeikh Ikhsan Jampes, menunjukkan, bagaimana sebenarnya kekhasan ulama nusantara dalam merumuskan gagasannya. Ulama asal Jampes, Kediri, Jawa Timur, ini menulis sebuah kitab jenius untuk mengambil posisi di tengah perdebatan dan kontroversi merokok dan minum kopi, yang diberi judul Irsyadul al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qahwah wa al-Dukhan. Kitab tersebut ditulis dengan gaya nadham (syair).
Berbeda dengan ulama Timur Tengah lainnya, Kiai Ikhsan al-Jampesi, pada kitabnya itu, tidak langsung mengerahkan dalil untuk menentukan status hukum dari minum kopi dan merokok. Ia justru memulai dengan menjelaskan seluk beluk bagaimana orang Arab mengenal rokok dan kopi. Di mana rokok, misalnya, di daerah ini dikenal dengan istilah, al-tabgh, al-dhukhon atau al-tuun.
Dari sana, Kiai Ikhsan lalu bergerak dan kemudian menunjukkan perbedaan pandangan para ulama kita tentang status minum kopi dan merokok. Kiai Ikhsan lalu membiarkan narasi itu, tanpa menentukan pilihan di antara sekian pendapat. Seakan membiarkan pembaca untuk memilih beragam pendapat itu sesuai konteks kemaslahatan masing-masing.
Tapi, betulkah Kiai Ikhsan tidak mengambil posisi dalam konteks ini? Meski tersamar, masih tetap terlihat, bahwa Kiai Ikhsan cenderung mengikuti argumen ulama yang mendukung minum kopi dan rokok karena sesuai konteks kemaslahatan rakyat di Indonesia.
Kiai Ikhsan memilih pandangan minoritas yang membolehkan, karena status itu lebih memberi nuansa maslahat untuk rakyat Indonesia, yang tidak hanya punya tradisi ngopi dan merokok dalam bekerja, tapi juga merupakan sumber ekonomi rakyat.
Sekadar diketahui, Kediri tempat tingal Kiai Ikhsan, salah satu sumber penghasilannya adalah tembakau. Bahkan di Nusantara sendiri sejak abad ke-16, tembakau telah menjadi salah satu basis ekonominya. Ini mendahului eropa yang baru menjadikan rokok sebagai industri dan gaya hidup pada abad ke-17. Kopi juga setali tiga uang dengan tembakau sebagai sumber ekonomi rakyat dari pertanian.
Dengan demikian, di tengah dominannya ulama yang memakruhkan, Kiai Ikhsan justru “cenderung’ membolehkan. Kemungkinan pertimbangannya adalah soal kedaulatan pertanian dan ekonomi rakyat. Jika ia mengikuti pandangan mayoritas, bukan hanya menghilangkan tradisi minum kopi di kalangan kiai dan rakyat Indonesia, tapi ikut pula berkontribusi terhadap pelemahan kedaulatan ekonomi rakyat tersebut.
Lagi pula, Kiai Ikhsan sadar betul, bahwa melalui minum kopi serta merokoklah, jalinan kultural dan kohesi sosial rakyat Indonesia dibangun. Konsolidasi kebangsaan tidak akan semerbak dan semarak tanpa aroma kopi dan kepulan asap rokok.
Sampai di sini kita bisa melihat dengan mata telanjang, Islam Nusantara dibangun dan dipraktikkan oleh ulama kita dulu bukan sekadar untuk berbeda dengan corak Islam dari Arab, melainkan untuk membangun karakter Islam yang membawa kemaslahatan pada rakyat nusantara.
Untuk kepentingan itu, tak jadi soal jika di kemudian hari harus berbeda dengan yang maisntream. Juga, tak jadi masalah jika kelak praktik keberislamannya berbeda dengan di Arab.
Lantas, apakah hal ini keluar dari dictum dasar dalam instibath hukum fiqih? Tentu saja, tidak. Semua ini tetap didasarkan pada metode instibath hukum yang lazim di Ahlu Sunnah waljamaah, yaitu istihsan.
Metode ini berarti upaya melahirkan hukum dengan menyimpang dari dalil umum, karena ada kemaslahatan lebih besar yang ingin dicapai, atau karena menghindar dari mudharat yang lebih besar. Hal ini dapat didalilkan dengan qaedah ushul; Dar’ul mafasid muqaddamu ala jalbil mashaalih (mendahulukan menghindari kerusakan daripada mendatangkan kebaikan).
Inilah dalil pertama mengapa Islam Nusantara dekat dengan minum kopi dan merokok. Tentu saja masih banyak dalil lain yang bisa kita sebutkan.
Pertama; ulama-ulama nusantara banyak melahirkan karyanya sembari diiringi isapan rokok sambil ngopi, seperti halnya Kiai Ikhsan al-Jampesi. Karyanya banyak dirujuk dan dipuji di Timur Tengah adalah Siraj al-Talibin, yang lahir ketika kyai kharismatik itu ngopi sembari mengepulkan asap tembakaunya.
Kita bisa tambah lagi dalilnya; bahwa “melalui rokok dan minum kopi, jarak antara kaum santri (kiai) dan abangan bisa dipotong.” Inilah salah satu jembatan yang menyebabkan islam abangan (kelokalan) dan santri (Islam Tinggi) bisa lebur dan menyatu menjadi satu kekuatan, yakni “Islam Nusantara”.
Perhatikanlah dalam pertemuan para kyai dan masyarakat abangan, dalam wanginya kopi dan kepulan asap rokoklah semuanya menjadi cair. Sangat mungkin ini diabaikan Antropolog Amerika, Clifford Geertz, ketika meneliti Islam di Jawa, sehingga akhirnya melahirkan kategori yang membuat garis tegas antara Islam abangan dan santri.
Terakhir, dan inilah dalil pamungkasnya. Saya, anda, dan barangkali kita semua, yang punya hobi mengutak-atik teks dan kemudian melontarkan argumentasi ilmiah, harus berpikir dan mengerutkan kening untuk membangun Islam Nusantara.
Akan tetapi, di berbagai pelosok nusantara, khususnya di masyarakat Bugis-Makassar, mereka telah terbiasa menjalankan Islam Nusantara. Mereka telah membaca Akhbarul Akherah fi Awwali Yaumil Qiyamah karya Nuruddin al-Raniri dalam ritual kematian yang digabung dengan royong (lagu/nada lokal Makassar), mereka telah menjalankan berbagai ritual, seperti mappeca sure (asysyura), kaddo minyak (Maulid Akbar), ritual tompolo (aqiqah), dan berbagai praktik Islam Nusantara lainnya.
Mereka semua menjalankan dengan sederhana, tanpa pernah berdebat, serta tidak pernah memikirkan apakah ritual ini ada dalilnya atau tidak. Seandainya ada, apakah dalil itu sanadnya tersambung sampai ke Baginda Rasulullah. Yang pasti, mereka hanya menjalankan Islam Nusantara dengan keyakinan.
Dan, percayalah, dalam semua rangkaian acara yang disebut-sebut tadi itu, teman yang selalu hadir hanyalah rokok (ico; dalam bahasa lokal Sulsel) dan kopi. Kalaupun mereka mencari penguat terhadap praktik Islam Nusantara yang mereka jalankan; larinya ya”. pada mappelo (merokok) dan minum kopi itu.
Ternyata, Islam Nusantara memang karib dengan merokok dan minum kopi. Maka, mari membincang Islam Nusantara dengan santai. tentu, jangan lupa kopi dan ico-nya! (*)
Ijhal Thamaon, Akyovis Gusdurian Sulsel & Belajar Meneliti di LAPAR dan Litbang Agama Makassar.