NU, Benteng Anti Sniper

Nahdlatul Ulama (NU) itu ibarat benteng yang meliuk-liuk. Lebar kokoh dan Tinggi dengan ketinggian yang menjebak, selain tentu saja dia didirikan di atas kontur alam (sosial) yang mengagumkan.
Mungkin kalian akan bertanya, kenapa kiyasannya adalah benteng? Karena saat ini ia sedang diserang, eh bukan, sejak dulu ia sudah dan selalu diserang, baik secara frontal maupun via penyusupan.
NU diibaratkan benteng karena jauh sebelum NU didirikan, keraton-keraton keilmuan dan pengayom umat dan legitimasi keagamaan itu sudah aktif dalam menemani pertumbuhan dan derap masyarakatnya.
NU didirikan untuk merekatkan perjuangan dan semangat antar kastil dalam mengayomi masyarakat. Menciptakan jalur komunikasi untuk mengurangi salah paham dan saling mengingatkan. Pun untuk melindungi berbagai ekosistem yang saling terhubung dengan berbagai format dan mekanisme dari serangan pihak dan paham lain.
Konsekuensi dari terciptanya benteng NU bagi kastil-kastil kuno adalah tumbuhnya hubungan timbal-balik internal yang tidak dipahami oleh orang-orang dari luar benteng.
Sementara orang-orang dari luar itu melongok, mereka hanya melihat sebagian, putus-putus dan tidak utuh. Kalau pun toh mereka menguntit komunikasi makhluk-makhluk dari dalam benteng saat di luar benteng, mereka tak akan bisa memahaminya dengan benar. Jangankan memahami dengan benar, mendekati agak benar pun sulitnya minta ampun dan nyaris mustahil.
Menyusupkan orang luar ke dalam benteng? Usaha ini pun terbukti selalu sia-sia. Mengapa? Karena mereka tidak akan paham rumitnya simbol dan alur pemahaman yang berjalin kelindan bagai labirin lintas waktu dan lintas alam, bahkan alam gaib pun dilintasi.
Bagaimana dengan menanam orang luar lebih lama di dalam benteng? Mungkin ini yang patut dicoba. Namun tentu saja dengan resiko yang sangat mengerikan, sang penanam pasti bakal mengira bahwa yang mereka tanam malah sudah menjadi NU. Sungguh pun bila ini dirumuskan mustahil, tetap saja orang takkan berani berbuat begitu karena takut pada rumusannya sendiri.
Akibatnya, orang-orang yang ingin menyerang NU, ingin merobohkan benteng itu, akhirnya hilang kesabaran dan menyerang dengan membabi-buta. Hasilnya jelas, NU sebagai benteng tetap kokoh dan menjadi semakin kokoh. Sementara para penyerang tinggal pilih, mau hancur jadi abu atau balik kucing menahan malu.
Kenapa? Karena saat mereka menyerang secara merata di seluruh tembok benteng, pasukan dan amunisi tidak akan pernah cukup. Benteng itu kelewat lebar panjang dan tinggi. Ini semacam menggarami lautan. Lalu saat mereka menyerang secata sporadis, benteng itu tetap terlalu kokoh dan tidak pernah jelas di mana titik lemahnya.
Akhir pilihan terakhir pun dilaksanakan, menyerang di satu titik yang dianggap sedang rawan, riskan atau sedang rentan? Pada saat ini mereka lupa bahwa benteng yang diserangnya dibangun dengan meliuk-liuk dan ketinggian yang susah terukur. Ditambah mereka juga sekalian lupa, benteng itu dibangun di atas kontur bentang alam sosial yang mengagumkan.
Maka, pada saat para penyerang sedang fokus dan merasa yakin dapat menjebol benteng, pada saat itu pula mereka dihujani meriam-meriam dari arah yang tak terduga dan dibidik sniper-sniper dari tempat-tempat tersembunyi. Tinggallah kalang kabut atau terbirit memegangi luka. (*)
Lereng Merbabu, 19 Juni 2018
Sumber: fb