PKB: Jokowi-JK Libatkan Pesantren Redam Paham Radikal
Jakarta – Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengatakan paham radikal di Indonesia harus ditangani secara komprehensif melalui perbaikan sistem pendidikan karena pendidikan merupakan pondasi utama pembentukan mental manusia.
Dia menilai Indonesia sering menjadi sasaran masuknya paham radikal dari negara-negara asing karena tidak lepas dari rentannya kondisi ekonomi dan pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia.
“Padahal dua hal itu merupakan kunci mencegah radikalisasi di masyarakat. Kebanyakan yang menjadi korban paham radikal adalah mereka yang kesejahteraanya rendah dan paham keagamaannya lemah,” kata Karding, di Jakarta, Jumat, 1 Agustus 2014.
Juru bicara Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ini menilai, konsep ‘Revolusi Mental’ bisa menjadi jalan meredam masuknya paham radikal ke Indonesia. Salah satunya melalui perbaikan sistem pendidikan.
“Revolusi mental yang menjadi konsepsi Pak Jokowi akan menjadi jalan meredam paham radikal yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Karding menegaskan Jokowi-JK akan membangun sistem pendidikan yang memprioritaskan pembentukan karakter yaitu tidak hanya menjadi jalan penyaluran ilmu pengetahuan duniawi, tapi juga penanaman nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, dan budi pekerti.
Dia mengatakan dalam konsep Revolusi Mental terdapat pendidikan yang dikembangkan dengan memuat nilai keagamaan moderat, inklusif, dan toleran.
Menurut dia pemerintahan Jokowi-JK juga akan melibatkan dunia pesantren dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang “rahmatan lil’alamin”.
“Jokowi-JK menyadari betul peran penting pondok pesantren dalam membentuk masyarakat Islam Indonesia yang damai dan toleran. Pondok pesantren di Indonesia mengajarkan Islam yang moderat dan rahmatan lil’alamin dan itu yang akan diperkuat,” tandasnya.
Dia menilai keberhasilan membentuk mental karakter masyarakat juga bergantung teladan para pemimpin. Selain itu, menurut Karding, kepemimpinan Jokowi-JK yang melayani serta mengayomi akan membuat masyarakat tidak mudah menerima paham radikal yang sarat kekerasan.
“Perlu contoh pemimpin yang tidak keras tapi mengayomi dan melayani,” pungkasnya. (met/ahay)