Sudah Saatnya Lakukan Ijtihad Shalat Jamaah Online

Ilustrasi - shalat berjamaah
Era wabah virus Corona atau Covid 19 ini seakan-akan menghadapkan dua kutub kepentingan; virus corona di satu sisi dan lembaga agama di sisi lain.
Harus diakui pada masyarakat yang jaminan kesejahteraannya rendah, maka agama akan menjadi pelarian yang paling masuk akal. Agama setidaknya memberikan kekuatan kepada manusia cerita tentang akhirat, tentang kehidupan setelah mati. Ada hope yang ditawarkan kepada individu ataupun masyarakat.
Baca juga: Shalat Jumat Boleh Sendirian di Rumah
Saat dikeluarkan istilah social distancing saya adalah orang yang pesimistis itu akan berhasil. Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, mahkluk yang berkoloni.
Dan ternyata saya tidak sendirian, banyak para ahli mengkritik istilah ini hingga membuat WHO –badan kesehatan dunia— meralat istilah tersebut dengan istilah lain yaitu physical distancing. Jadi yang berjarak itu adalah fisiknya saja bukan tatanan sosialnya. Istilah yang jauh lebih baik dibanding istilah sebelumnya.
Balik lagi ke agama dan saya akan langsung fokus ke agama Islam. Pergantian istilah dari social distancing ke physical distancing ini ternyata tidak diikuti dengan pemikiran solutif dan berkemajuan di kalangan para tokoh agama Islam. Di antaranya, sampai sekarang di Indonesia, para ulama belum pernah secara serius membicarakan tentang shalat berjamaah secara online. Di kalangan Muslim tradisional, biasanya mereka akan berkata tidak boleh karena tidak ada dalam kitab.
Dalam hati saya berkata, ‘ya iyalah gak ada. Lah kitab itu sendiri dikarang pada masa sebelum ada internet bahkan belum ada komputer. Saat itu menulis harus pakai tinta celup dan itu harganya masih mahal’. Ternyata kegagapan ini tidak saja di kalangan tokoh Muslim tradisonal tapi juga di kalangan tokoh Muslim Indonesia yang selama ini dianggap modern.
Baca juga: Ijtihad Ulama: Kewajiban Shalat Jumat Gugur Demi Cegah Wabah Corona
Akhirnya yang terjadi, masyarakat tidak punya saluran. Ingin mereka mengerjakan perintah agama berupa shalat berjamaah. Apalagi shalat Jumat itu wajib berjamaah semua umat Islam laki-laki.
Saya berpikir, kita umat Islam punya tool, namanya maqashid syariah, syarat berjamaah yang kemudian harus berada dalam satu lokasi itu kan didasari agar makmum bisa mengikuti imam, that’s it.
Sekarang kalau kita kembangkan bagaimana jika ternyata kita tidak satu lokasi tapi maksud syariahnya bisa terpenuhi maka tentu hukumnya boleh. Dan hari ini kita sudah melakukannya dalam bidang muamalah lewat jual beli online. Jika pada muamalah kita bisa berijtihad seperti itu lalu kenapa dalam ibadah mahdah tidak bisa. Toh tidak ada syarat rukun yang kita kurangi atau tambahi. Selain istilah maqashid syariah kita juga punya istilah istihsan, qiyas, dan lain-lain.
Mungkin sebagian teman-teman menganggap saya mengada-ada karena tidak berdasar pada buku karya ulama yang ada. Perlu saya tegaskan kembali, para ulama itu benar, tapi produk mereka harus kita pahami ada pada zamannya dan kita sekarang ada pada lompatan zaman yang sedemikian rupa. Cuma yang perlu diketahui teman-teman saya di Indonesia, jamaah online ini sudah mulai dilakukan oleh saudara muslim kita di tempat lain semisal di New Zealand.
Baca juga: Mengapa NU Menolak Syariat Islam
Sangat disayangkan, kreasi-kreasi dalam bidang sosial keagamaan itu justru berasal dari tempat-tempat yang umat Islamnya minoritas. Di sini mayoritas tapi sering kali jadi follower dalam bidang keagamaan (kecuali dalam bidang fashion jilbab yang sudah tidak karu-karuan itu).
Kalau jamaah online bisa dirumuskan maka umat Islam tak perlu harus memilih antara corona dan agama karena dua-duanya bisa dilakukan. Apalagi memasuki bulan Ramadhan di mana pada minggu pertama biasanya umat Islam antusias untuk berjamaah tarawih. Jamaah jalan, stay at home juga jalan. Kalau itu dilakukan sepertinya akan lebih utama-afdal. Wallahu a’lam. (*)
Dr Iksan Kamil Sahri, Antropolog Pesantren, dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Fithrah Surabaya.