Kimiya-yi Sa‘adat (10): Kemurnian dan Kesucian Tuhan

Setelah orang mengenal sifat-sifat Allah dari sifat-sifatnya sendiri, ia akan mengetahui transendensi dan kemahasucian Allah dari kemurnian dan kesucian dirinya.

Yang dimaksud kemurnian dan kesucian sang Khalik ialah bahwa Dia adalah kemurnian dan kesucian mutlak, melebihi apapun yang bisa dipahami dan dibayangkan. Ia benar-benar transenden, dan tidak terikat kepada ruang, meskipun ruang pasti berada dalam kendali-Nya. Ia akan merasakan kesejajaran hal ini dalam dirinya. Hakikat dirinya yang kita sebut ‘hati’ (dil) berada di luar jangkauan apapun yang muncul dalam pikiran dan bayangan.

Baca juga: Kimiya-yi Sa‘adat (9): Mengenal Diri, Kunci untuk Mengenal Tuhan

Kami telah menjelaskan bahwa ia tidak memiliki ukuran atau kuantitas, juga tak bisa dibagi. Karena itu, ia tidak punya warna, dan apapun yang tidak punya warna dan ukuran tak mungkin muncul dalam imajinasi, karena apapun yang muncul dalam imajinasi pasti bisa dilihat oleh mata, atau setidak-tidaknya tipenya dapat dilihat. Tidak ada apapun dalam ranah mata dan imajinasi kecuali bentuk dan warna.

Ketika batin kita bertanya, “Benda itu seperti apa?” Maksud pertanyaan tersebut adalah: “Ia berbentuk apa?” “Adakah ia kecil atas besar?” Tapi untuk sesuatu yang tak dapat menerima deskripsi seperti itu, pertanyaan-pertanyaan seperti ini tak ada gunanya.

Bila Engkau penasaran, “Mungkinkah sesuatu yang tak berbentuk disebut ada?” Cobalah perhatikan dirimu sendiri. Bahwa hakikat dirimu, yang menjadi lokus makrifat, tak bisa dibagi dan tak bisa disentuk oleh ukuran, kuantitas, atau kualitas. Bila seseorang bertanya, “Wujud apakah ruh itu?” Jawabannya adalah: “Ia tidak menerima [pertanyaan] tentang hakikat dan kualitasnya.

Karena Engkau telah mengenal dirimu dari sifat-sifatnya, maka ketahuilah bahwa Allah melampaui sifat-sifat tersebut dalam kemurnian dan kesucian. Orang-orang menganggap aneh bahwa ada Wujud yang gaib dan tak terlukiskan, tapi mereka sendiri begitu —hanya saja mereka tidak menyadarinya.

Namun, bila seseorang menyelidiki tubuhnya sendiri, ia akan menemukan dan melihat ribuan hal, semuanya gaib dan tak terlukiskan. Dalam dirinya, ia melihat amarah, melihat cinta, melihat rasa sakit, melihat kesenangan. Bila ia ingin mencari tahu tentang sifat dan kualitasnya, ia tak akan berhasil; karena hal-hal tersebut tidak punya bentuk atau warna dan tidak ada cara untuk mempertanyakannya.

Memang, seandainya orang mencari tahu hakikat suara, hakikat bau, atau hakikat rasa—sifat dan kualitasnya —ia tak akan berhasil. Alasannya adalah karena ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ merupakan pertanyaan imajinasi yang diperoleh dari indera penglihatan yang kemudian mencari jawabannya dalam segala sesuatu yang berada di ranah mata. Mata tak punya peran dalam soal-soal yang berada di wilayahnya telinga, seperti suara, dan mustahil baginya untuk bertanya tentang ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ di ranah suara. Suara berada di luar jangkauan mata, seperti halnya warna dan bentuk berada di luar jangkauan telinga.

Dengan penalaran yang sama bisa dikatakan bahwa apapun yang dipersepsikan oleh organ-organ persepsi hati dan dikenal oleh akal berada di luar ranah persepsi indera.

Intinya adalah bahwa bahwa orang bisa mengetahui kegaiban dan ketakterlukisan dirinya dari kegaiban dan transendensi Tuhan. Ia juga bisa mengetahui bahwa jiwa (jân) itu ada dan mengendalikan tubuh; setiap anggota badan yang memiliki tujuan dan ciri khas merupakan kerajaannya. Namun, jiwa adalah gaib dan tak terlukiskan, seperti halnya sang Pencipta alam adalah gaib dan transenden. Semua hal yang punya tujuan dan deskripsi, seperti wujud-wujud inderawi adalah kerajaan-Nya.

Jenis lain transendensi adalah wujud yang tak terikat pada ruang. Ruh tidak terikat pada organ tubuh yang manapun. Orang tak bisa mengatakan bahwa ia ada di tangan, di kaki, di kepala, atau di tempat lain. Memang, semua anggota badan bisa dibagi, tapi ruh tidak. Adalah mustahil sesuatu yang tak bisa dibagi akan menetap dalam wujud yang bisa dibagi, karena kalau begitu ia pun bisa dibagi.

Walaupun ruh tidak dapat dinisbatkan kepada organ yang manapun, tidak ada organ yang bebas dari kendalinya. Malah, semua anggota badan dikendalikan dan tunduk kepadanya. Ia adalah raja bagi semuanya, seperti alam berada dalam kendali Raja Semesta Alam, dan Dia tak mungkin dinisbatkan ke tempat dan arah apapun. (*)

Muhammad Ma‘mun, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Silo, Jember.

——-
Kimiya-yi Sa’adat, yang biasa diterjemahkan menjadi Kimia Kebahagiaan, bukanlah karya yang asing bagi para pembaca Imam al-Ghazali di Tanah Air. Karya ini sudah diterjemahkan berkali-kali ke dalam bahasa Indonesia.

Sayangnya, terjemahan ini dipungut dari edisi ringkasnya, biasanya dari bahasa Arab atau dari terjemahan bahasa Inggris yang dikerjakan oleh Claud Field. Terjemahan yang terakhir, seperti yang dijelaskan oleh penerjemahnya, dikerjakan dari terjemahan Bengali-nya yang ringkas. Dus, terjemahan dari terjemahan.

Padahal, edisi asli kitab ini dalam bahasa Persia 2 jilid tebal. Struktur babnya sama dengan Ihya’ ‘Ulum ad-Din, yang terdiri dari 40 buku. Keempat puluh buku dalam Kimiya-yi Sa’adat bisa dibilang merupakan versi padat dari 40 buku Ihya’.

Hal lain yang membedakan Kimiya-yi Sa’adat dengan Ihya’ adalah bab-bab pendahuluannya yang panjang: terdiri dari 4 topik. Keempat topik ini lebih panjang dan lebih filosofis dari buku ke-21 dan ke-22 Ihya’.

Pembicaraan yang teoretis dan filosofis ini mengisyaratkan bahwa Kimiya ditulis untuk kaum terpelajar dan cendekiawan Persia yang tidak bisa berbahasa Arab.

Pada bulan Ramadhan ini, saya ingin berbagi hasil terjemahan saya atas mukadimah Kimiya-yi Sa’adat yang saya ambil dari versi Inggrisnya yang dikerjakan oleh Jay R. Cook.

Untuk kepentingan kawan-kawan, terjemahan saya buat selonggar mungkin, dan dalam beberapa kesempatan atau berseri, lebih merupakan parafrase dari terjemahan literal. Semoga bermanfaat! (*)

Terkait

Turats Lainnya

SantriNews Network