Radikalisme, Pengebirian Agama

Ilustrasi - Tentara militan ISIS

Oleh: Ikbar Sallim Al Asyari

MASIH jelas dalam benak kita banyak konflik terjadi didunia hingga berujung pembantaian umat manusia didasarkan atas SARA lebih lebih fatwa agama. Tentu masih ingat konflik antarumat beragama di Moro Filipina dan Pembantaian Rohingya di Myanmar yang menyebabkan korban jatuh sebesar 140 jiwa (Kompas, 2012).

Selain itu juga terdapat konflik Poso yang akhirnya merambah pada unsur agama (Yunus, 2014). Lebih jauh lagi radikalisme muncul atas nama Islam dengan nama ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang memunculkan ide penegakan khilafah dan negara Islam dengan cara radikal.

Radikalisme diimplemetnasikan dalam bentuk kekerasan hanya akan mengebiri kekaffahan seuatu agama. Bukankah konsep agama itu harusnya rahmatan lil “˜alamin (rahmat bagi semesta alam)? Bukankah Allah itu Ar-Rahman dan Ar-Rahim?

Agama merupakan wadah yang dicipatakan Tuhan bagi umat manusia supaya bisa hidup maka ada konsep hablum minallah dan hablum minannas. Kita fokus kepada hablum minallah (hubungan umat manusia kepada Tuhan) sebagai aspek vertikal tapi seakan kita lupa hablum minannas (hubungan manusia dengan lingkungan dan sesama manusia) sebagai aspek horizontal.

Orientasi kita hanya terfokus pada akhirat (surga dan neraka: red) tapi kita lupa tangga untuk mencapai kesana. Kita seolah hanya memenjarakan Tuhan di dalam rumah ibadah kita dan lupa Tuhan juga bersama orang-orang minor, orang-orang yang kelaparan, dan orang-orang yang terdholimi/tertindas.

Bukankah Allah berfirman untuk menyapa dan mencintai anak yatim, orang yang kelaparan, dll? sesuai dengan QS. Al Maa’un:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, orang yang mengherdik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Hal diatas dipertegas oleh Rosulullah Muhammad untuk mencintai saudara (dalam makna luas) dengan bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia memuliakan tetangganya (saudaranya)”

Maka sudah jelas bagi kita untuk saling mencintai dan mengasihi antarsesama umat manusia. Saat ini, agama hanya dijadikan kambing hitam untuk membenarkan argumen radikalisme dan intoleransi. Semua radikalisme, konflik, intoleransi, dan kekauan dalam menjalankan agama hanya akan memperkuat terori yang diangkat oleh Karl Marx bahwa agama adalah candu masyarakat!!! (Dalam perspektif lapang lain). Karena agama adalah candu masyarakat maka kedudukan agama hanya setara dengan narkotika. Kalau agama menjadi sebuah narkoba, maka agama haram dan harus dimusnahkan dari muka bumi. Apakah kita mau hal semacam itu?

Tentu tidak bukan, maka konsep toleransi antarumat beragama adalah sebuah jalan utama bukan pilihan karena tidak ada pilihan dalam toleransi. Segala macam bentuk radikalisme, kekakuan, dan intoleransi harus dibuang jauh-jauh.

Radikalisme terjadi bukan tanpa alasan, Armahedi Mahzar menjelaskan radikalisme didorong oleh tiga hal: 1) kesombongan intelektual dengan memutlakan kebenaran pandangan sendiri (absolutisme), 2) kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain (eksklusivisme), 3) kesombongan emosional berupa sikap yang fanatic (fanatisme).

Hal di atas sangat beralasan apabila berkaca dari kejadian yang mengatasnamakan agama seperti kasus-kasus kekerasan. Radikalisme dan intoleransi berkedokan agama justru hanya akan membuat agama (red: Islam) menjadi rendah di mata internasional dan semakin menyudutkan Islam.

Tentu kita merindukan masa ketika Rasulullah Muhammad SAW masih ada semua berjalan dengan aman dan rukun dalam internal Islam sendiri bahkan dengan agama atau aliran kepercayaan lain. Konsepsi Piagam Madinah yang diterapkan Rasulullah kala itu menjadi tonggak pegerakan umat Islam untuk saling menghormati dan menghargai antarumat beragama, ada Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, hingga Majusi dan Zoroaster. Semua diselaraskan dengan satu tujuan yaitu perdamaian. Konsepsi ini yang diadopsi di Indonesia melalui lembaga dakwah Islam Walisongo. Walisongo tetap konsisten dengan cara dakwah yang santun, ramah, merangkul, dan mengakulturasikan budaya Nusantara. Semua terjadi dengan damai tanpa konflik dan pertentangan.

Konsep Lembaga Dakwah Walisongo setelah sekian lama bersyiar Islam bergeser dan dilanjutkan oleh para Kyai, Ulama’ dan para tokoh lainya dicetuskanlah dasar tindakan: Tawazzun, Tawassuth, Tasammuh (adil, moderat, dan tolearan) yang menjadi konsepsi Islam moderat tidak radikal dan juga tidak sekuler yang dimanifetasikan kedalam konsep NKRI Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

Prinsip menolak radikalsime atas nama agama:
Dalam berdakwah, agama itu harus merangkul bukan memukul
Dalam berdakwah, agama itu harus ramah bukan marah
Dalam berdakwah, agama itu harus mengayomi bukan menyakiti
Maka, Agama itu harus ada di dunia tanpa adanya Radikalisme dan Intoleransi!!!

Wallahua’lam bisshowab. (*)

Ikbar Sallim Al Asyari, Sekretaris Umum PKPT IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Universitas Brawijaya

DAFTAR REFERENSI
____.1998. Agama dan Kekerasan. Basis No. 05-06. (http://www.bisnet.or.id/vle/file.php?file=%2F221%2FAgama_dan_Kekerasan_1.pdf.) Diakses pada 21 Maret 2016.
Arbour, L. 2012. Kasus Rohingya Mengancam Reformasi Myamar. (http://internasional.kompas.com/read/2012/11/20/12191521/Kasus.Rohingya.Mengancam.Reformasi.Myanmar). Diakses pada
Wahid et al. 2009. Ilusi Negara Islam. Jakarta: LibForAll Foundation.
Wahid, A. 2011. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Yunus, F. 2014. Konflik Agama di Indonesia Problem dan Solusi Pemecahanya. Subtantia Vol. 16. Aceh: UIN Ar-Raniry.
Zainal. 2013. Islam Radikal dalam Konteks Sejarah. Jurnal Kontemplasi IAIN Tulungagung.

Terkait

Dirosah Lainnya

SantriNews Network