Khilma Anis: Jangan Mati sebelum Punya Karya

Khilma Anis (tengah) saat berbicara pada acara “Meet and Greet” di Pondok Pesantren Raudlatul Nasyi'in, Mojokerto (santrinews.com/nuo)
Mojokerto – Novelis perempuan, Khilma Anis hadir dalam acara ‘Meet and Greet’ yang diadakan Ikatan Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Nasyi’in Berat Kulon, Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Ahad, 17 Nopember 2019.
Kegiatan bertajuk ‘Menumbuhkan Potensi Literasi Santri’ ini diselenggarakan dalam rangka memeriahkan haul ke-32 KH M Arief Hasan tersebut mendapat sambutan luar biasa dari para santri.
Ketua panitia Achmad Yani Arifin menuturkan acara ini sengaja digelar untuk menumbuhkan dan menggugah semangat para santri untuk berliterasi, utamanya bagi santriwati.
“Kebetulan di Mojokerto banyak yang mengidolakan sosok Ning Khilma. Hal ini berkat novel karyanya yang berjudul Hati Suhita berhasil meraih best seller di pasaran,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut selain mengupas mengupas isi novel Hati Suhita, Ning Khilma mengajak para santri untuk ikut serta mengkampanyekan literasi.
“Santri saat ini harus sudah memulai untuk menulis, dalam artian mempunyai karya dalam bentuk buku. Semua santri pada dasarnya bisa menulis dengan memainkan media sosial, tinggal dilatih ke jenjang selanjutnya seperti artikel, novel dan lain lain,” kata Ning Khilma.
Ia menambahkan, pada dasarnya dalam novel Hati Suhita ingin ada pemerataan skill jurnalistik di pesantren, terlebih di daerah pelosok. Sebab ilmu jurnalistik adalah ilmu paling dasar untuk menulis yang harus dikuasai oleh para santri.
“Kalau santri sudah belajar jurnalistik, maka akan belajar berpikir kritis dan kemudian jika sudah terbiasa, memilih menulis di bidangnya masing-masing. Yang penting adalah diciptakan dahulu dalam iklim jurnalistik yang baik,” jelasnya.
Di akhir perbincangan Ning Khilma mengemukakan bahwa ia sejak kecil memang sudah hidup dengan wayang. Ada satu ajaran yang harus ditularkan pada para santri, yaitu tokoh wayang Semar.
“Semar pernah berpesan pada anaknya, ojok mati tanpo aran. Artinya, jangan mati tanpa nama. Kalau dibahasakan secara simbolik, jangan mati tanpa punya karya dan karya itu tidak selalu berbentuk buku, bisa saja kebaikan,” tegasnya.
Dalam pandangan Ning Khilma, kebaikan apa saja akan menjadi hal positif yang akan diketahui masyarakat, serta terus mengalir. “Karena karya yang banyak diketahui orang bisa menjadi amal jariyah,” pungkasnya. (nuo/red)