Virus Corona

Dari Pandemi Corona: New Normal atau Masa Transisi?

Baru-baru ini kita mendengar atau membaca istilah new normal, yang berarti kenormalan baru.

Jika sebelum pandemi virus Corons atau Covid-19, kita jarang, dan bahkan tidak pernah melakukan aktivitas menggunakan masker ke luar rumah, membawa hand sinitizer, rajin mencuci tangan, menjaga jarak fisik, menyemprot disinfektan, saat diterapkan new normal, tindakan seperti itu akan menjadi sebuah kebiasaan yang dianggap biasa dan wajib. Oleh sebab itu, ketika melihat atau melakukannya merupakan suatu hal yang lumrah.

New normal menjadi sebuah keadaan yang dilakukan pasca-lockdown akibat Covid-19 agar masyarakat bisa kembali beraktivitas, seperti bekerja, belajar, berkendara atau berbelanja.

Baca juga: Transformasi Misi Dakwah Pesantren di Tengah Pandemi

Di sejumlah wilayah di Indonesia new normal sudah diterapkan. Namun, apakah kondisi seperti ini baik dilakukan, terlebih melihat kurva kasus positif covid-19 setiap hari semakin meningkat? Hal ini membuktikan bahwa negara kita sedang darurat. Benar-benar membutuhkan penanganan serius untuk menekan angka positif covid-19 yang terus melejit tersebut.

Di satu sisi new normal —secara ekonomi— sangat berguna menopang kehidupan perekonomian yang kian redup ini sebab selama kurang lebih tiga bulan ini pusat perbelanjaan, sekolah, kampus, tempat wisata, dan perindustrian tutup.

Bahkan tidak sedikit karyawan yang terpaksa dirumahkan atau di-PHK. Pelaku industri pun puyeng —karena mengalami kerugian yang masif dan signifikan.

Dari sisi lain, kita cermati —secara kesehatan— diperkirakan akan banyak nyawa lenyap akibat terjangkit virus berbahaya itu. Jika penyakit kulit seperti kurap atau kudis, bisa segera diobati karena tampak, tetapi penyakit yang satu ini tidak tampak. Orang yang terlihat baik-baik saja atau Orang Tanpa Gejala (OTG) saja bisa terjangkit. Semacam penyakit ghaib, tetapi ada.

Mengapa berbahaya? Berbahaya karena new normal akan membawa kita pada sebuah perilaku kembali bebas beraktivitas seperti sebelum ada pandemi. Itu artinya tempat-tempat umum kembali dibuka sebagai akses keluar-masuknya manusia. Akibatnya, kita benar-benar harus pandai menjaga jarak (interaksi sosial) dan lebih memilih bekerja atau belajar di rumah. Kita lebih memilih mengurung diri sebab khawatir menjadi penderita.

Jangan sampai negara kita seperti Korea Selatan. Mereka sudah menerapkan new normal, namun kini terpaksa melakukan PSBB kembali karena covid-19 jilid 2 masih menjangkiti, terutama di kawasan sekolah. Kita harus benar-benar belajar dari Negeri Ginseng tersebut.

Baca juga: Fatwa MUI: Zakat Boleh Dimanfaatkan untuk Kepentingan Corona

Ada yang menarik dari postingan seorang artis papan atas berinisial AH di akun IG-nya. Dia menulis beberapa slide. Slide pertama berisi: Saya bingung dengan kata New Normal terkait dengan kehidupan bersosial dan kontak fisik terhadap manusia. Jadi, ketika pandemi sudah usai, namanya apa? No this is not normal, this is just a transition untuk kembali ke kehidupan normal.

Slide kedua berisi: Menurut saya pemilihan kata berkaitan erat dengan psikologis manusia. Normal adalah sesuatu yang menjadi acceptable. Kita masih mau fight-kan ke kehidupan yang dulu?

Berdasarkan pendapat AH di atas, dapat ditarik benang merah bahwa penggunaan istilah new normal sebenarnya kurang tepat meskipun di seluruh dunia menggunakan istilah tersebut.

Saat ini kita hanya sedang mengalami masa transisi, yakni dari keadaan genting, kemudian mencoba memulihkannya lewat perilaku yang sudah kita lakukan sebelum pandemi datang.

Perilaku tersebut seperti bekerja, belajar, berinteraksi dengan orang lain, berbelanja, dan berkunjung ke suatu tempat. Namun, ada penambahan kebiasaan, yakni dengan menggunakan masker, mencuci tangan, menjada jarak, dan menghindari kerumunan.

Dalam persfektif psikologi-humanistik keadaan seperti ini akan berbeda makna lagi. Koswara (1991) mengungkapkan bahwa psikologi-humanistik adalah sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari psikoanalisis maupun behaviorisme, yakni berupa gambaran manusia sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.

Manusia memiliki kebebasan melakukan kegiatan yang dianggapnya wajar demi memenuhi kebutuhan hidup. Manusia memiliki akal-pikiran sehingga tidak ingin terbelenggu dalam suatu keterkungkungan sehingga harus melakukan banyak hal, terlebih sudah beberapa waktu dikarantina secara mandiri sehingga ketika diberi kesempatan (new normal) cenderung merasa leluasa. Artinya, lingkungan atau negara tempat manusia bermukim, telah memberi peluang.

Tidak dipungkiri, manusia memerlukan sandang, pangan, papan untuk bertahan hidup, apalagi kondisi serba tidak karuan begini. Dengan demikian, new normal merupakan jawaban strategis untuk kembali memenuhi kebutuhan hidup tersebut.

Baca juga: Virus Corona, Ijazah dan Khasiat Ratibul Haddad

Ada hal yang harus kita perhatikan terkait new normal. Kita perlu mengantisipasi agar virus ganas itu tidak menjangkiti dan menghilangkan ratusan, bahkan puluhan ribu nyawa lagi.

Melalui pemberlakuan new normal yang mengundang pro dan kontra ini —yang berarti siapa yang daya tahan atau imunnya kuat, dialah yang bertahan atau tetap hidup— kita diimbau agar tetap melakukan tindakan atau perilaku hidup sehat sesuai protokol kesehatan. Kalaupun dengan sangat terpaksa keluar rumah, tetap patuhi anjuran pemerintah.

Kalau untuk urusan pekerjaan yang memang harus berkantor, tetap juga menjaga pola hidup sehat. Kalau memang bisa bekerja di rumah, mengapa tidak? Lakukanlah di rumah saja demi melindungi diri sedniri dan orang lain, tentunya demi memutus mata rantai penyebaran covid-19. Semoga pandemi global ini lekas lenyap. Amin. (*)

Yulaika Ranu Sastra, Staf Pengajar dan Pecinta Dunia Literasi.

Terkait

Opini Lainnya

SantriNews Network