Rezim Oligarkhi-Diktator dan Kebijakan Semu

Sejak regim Militer-Diktator Orde Baru jatuh, Indonesia masuk dalam kubangan politik “oligarkhi” warisan Orda Baru dan Orde Lama. Kelompok Islam (politik) modernis yang dimotori ICMI —yang sempat mendapatkan dukungan jenderal Soeharto di akhir masa kekuasaannya— gagal memasang Habibie sebagai presiden dalam kompetisi pilpres pasca reformasi.

Alih-alih menjadikan Habibie, justru mereka “terjebak” mendukung Gus Dur sebagai presiden melawan Megawati, setelah presiden Habibie ditolak pertanggungjawabannya. Padahal Gus dikenal sebagai motor penggerak yang mengkritisi ICMI. Bahkan diawal pendiriannya, ICMI dilabeli Gus Dur sebagai kelompok sektarian.

Maka wajar saja ketika kekuatan oligarkhi yang ada di balik organisasi ini merasa terancam oleh kebijakan pemerintahan Gus Dur, mereka segera menggoyang dan menjatuhkannya. Saat itu kekuatan oligarkhi yang berselingkuh dengan pengusaha, politisi dan agamawan abal-abal, serta didukung oknum-oknum aparatur negara yang korup, menjadikan Gus Dur tak berdaya dan harus keluar istana kepresidenan dengan hanya bercelana pendek. “Celana pendeknya” konon menjadi simbol perlawanan (humor) terakhir Gus Dur pada kekuatan oligarkhi, sebelum lengser.

Jatuhnya Gus Dur dan naiknya Megawati menjadi penanda kembalinya kekuatan oligarkhi yang sebenarnya benihnya sudah dibangun bahkan sebelum kemerdekaan. Para politikus yang tampil gagah kayak pahlawan ternyata menjadi penikmat dari remah-remah makanan para pencoleng kekayaan negara yang bisa menyaru jadi apa saja, mulai pengusaha, makelar proyek, pejabat, tokoh agama abal-abal dan bahkan petinggi militer.

Entah bagaimana mereka bisa kompak menjadi kekuatan oligarkhi yang bisa menjerat hampir semua politisi di negeri yang kata Iwan Fals dijuluki negeri para bedebah. Para pencoleng kekayaan negara ini bisa melakukan apa saja bahkan menjual ideologi Pancasila pun dilakukan. Mereka bahkan merawat para penyokong ideologi asing jika diperlukan. Hal ini dilakukan mereka mulai dari ujung Sabang sampai Merauke.

Bahkan di era SBY mereka benar-benar dimanja dengan segala macam layanan “ekslusif” sehingga kita bisa melihat bagaimana kekuatan kelompok “sektarian” semakin kuat dan mengakar dalam beragam bentuk organisasi sosial kemasyarakatan yang mencapai seluruh pelosok negeri. Padahal di era sebelumnya, belum pernah terjadi seperti ini. Maka kekuatan oligarkhi semakin mendarah daging dan bisa melakukan apa saja, termasuk menentukan siapa yang pantas menjadi kepala daerah dan wakil rakyat. Semua bisa diatur oleh mereka.

Di era Jokowi kekuatan oligarkhi sengaja “memecah” diri untuk memberikan “hiburan” semu kepada rakyat yang sudah sangat “gelisah”. Dengan semangat “kerja-kerja” ala Jokowi-JK, rakyat disuguhi pemandangan pembangunan infrastruktur yang “luar biasa”. Semua terpesona dan ujung-ujungnya para penanam saham mulai ingin menarik keuntungan. Maka kekuatan oligarkhi yang “pura-pura” terbelah tersebut akhirnya menyatu lagi. Drama-drama politik pun segera digelar setiap muncul isu yang mengancam “kemapanan” mereka.

Inilah wajah politik bangsa Indonesia, yang memang usianya masih cukup muda dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mapan secara historis, ideologi, politis dan ekonomis. Orang-orang yang dahulunya baik, menjadi begitu “serakah” ketika sudah masuk dan terjebak dalam pusaran oligarkhi. Mereka yang tak sabar dan tak kuat dengan sengaja dipasang dan dijadikan aktor yang akan dikorbankan jika dibutuhkan.

Agar drama-drama itu bisa menutupi “penggarongan” kekayaan negara dengan segala kemulusan infrastruktur yang dibangun dengan hutang atas nama pembangunan. Setelah Kalimantan habis hutannya, kini tengoklah tanah Papua.

Bukan hanya emas yang mereka jarah, tetapi juga hutan belantara perawan tempat milyaran kehidupan makhluk hidup langkah, dimana ekosistem dunia bergantung padanya. Entah siapakah sesungguhnya mereka? (*)

Tawangsari, 25 Nopember 2020

Muhammad Khodafi, Dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Terkait

Fikrah Lainnya

SantriNews Network