Kasus KHR Fuad Amin
Tiga Kiai Bangkalan Mangkir dari Panggilan KPK

KHR Fuad Amin Imron usai menjalani pemeriksaan KPK (santrinews.com/tribunnews)
Jakarta – Tiga kiai Bangkalan mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap jual-beli gas alam dengan tersangka Ketua DPR Bangkalan KHR Fuad Amin Imron.
Mereka adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bangkalan KH Syarifuddin Damanhuri, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hikam Bangkalan KH Nuruddin A Rahman, dan mantan angota DPRD Bangkalan KH Abdul Razak Hadi.
Tiga kiai sedianya menjalani pemeriksaan penyidik KPK pada Kamis, 26 Februari 2015. Pemeriksaan akan dilakukan karena tiga kiai tersebut diduga punya hubungan dengan KHR Fuad Amin. Tiga kiai itu juga dianggap mengetahui kasus yang disangkakan kepada KHR Fuad Amin.
“Tidak hadir tanpa memberikan keterangan. Ketiganya nanti dipanggil lagi,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, Kamis, 26 Februari 2015 malam.
Namun, Priharsa belum bisa memastikan sejauh mana hubungan tiga kiai itu dengan KHR Fuad Amin. Dia belum mau berspekulasi apakah ketiganya turut membantu aksi KHR Fuad Amin dalam proses jual beli gas dan kebijakan pendukungnya.
Begitu juga saat disinggung apakah lembaga yang dipimpin tiga kiai tersebut menerima kucuran dana dari KHR Fuad Amin, Priharsa menjawab, “Saya nggak tahu.”
Kasus suap KHR Fuad Amin terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Direktur PT Media Karya Sentosa (MKS) Antonio Bambang Djatmiko dan perantara penerima suap yaitu Rauf serta perantara pemberi suap yaitu Darmono pada 1 Desember 2014. Selanjutnya pada Selasa 2 Desember 2014 dini hari, KPK menangkap Fuad di rumahnya di Bangkalan.
Fuad Amin saat menjabat sebagai bupati Bangkalan mengajukan permohonan kepada BP Migas agar Kabupaten Bangkalan mendapatkan alokasi gas bumi yang berasal dari eksplorasi Lapangan Ke-30 Kodeco Energy Ltd di lepas pantai Madura Barat di bawah pengendalian PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE-WMO).
Kabupaten Bangkalan dan Pulau Madura memiliki hak diprioritaskan mendapatkan alokasi gas bumi untuk kebutuhan pembangkit berbahan bakar gas (PLTG) karena berguna untuk pengembangan industri di sekitar kawasan Jembatan Suramadu, kebutuhan kawasan industri dan kebutuhan rumah tangga warga Bangkalan.
Namun, sampai sekarang PHE-WMO tidak juga memberikan alokasi gas alam yang dimohonkan Fuad karena PHE-WMO menemui instalasi pipa penyalur gas bumi sampai sekarang belum juga selesai dibangun.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Fuad sebagai tersangka penerima suap berdasarkan pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Selain terjerat kasus korupsi, Fuad Amin juga menjadi tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), berdasarkan pasal 3 UU No 8 tahun 2010 dan pasal 3 ayat (1) UU No 15 tahun 2002 yang diubah dengan UU No 25 tahun 2003 dengan penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Dalam kasus itu, KPK sudah menyita uang Fuad sebesar lebih dari Rp250 miliar yang sekitar Rp234 miliar sudah berada dalam kas penampungan KPK, selebihnya masih dalam proses pemindahan.
KPK juga menyita 14 rumah dan apartemen berlokasi di Jakarta dan Surabaya, 70 bidang tanah (tanah kosong dan beberapa tanah dengan bangunan di atasnya) termasuk kantor DPC Partai Gerindra, butik dan toko serta 1 kondominium (dengan 50-60 kamar) di Bali dan 19 mobil yang disita di Jakarta, Surabaya dan Bangkalan.
Tersangka lain dalam kasus dugaan suap jual beli gas alam itu adalah Bambang Djatmiko dan Rauf sebagai pemberi dan perantara yang dikenakan dugaan pasal 5 ayat 1 huruf a, serta pasal 5 ayat 1 huruf b serta pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp250 juta. (us/onk)