Polemik RUU Pilkada
Abdul Azis: Pilkada Tak Langsung Bentuk Kemunduran Demokrasi

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar bersama keluarga, usai menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif lalu. PKB adalah salah satu partai yang bersikukuh Pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat (santrinews.com/indopos)
Probolinggo – Rencana sebagian besar elit politik di DPR yang menghendaki pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan melalui DPRD juga menuai tentangan dari anggota dewan daerah yang notabene sebagai pemainnya.
Abdul Azis, anggota DPRD Kota Probolinggo secara tegas menolak pilkada tak langsung itu. Politisi PKB ini menilai, pemilihan pemimpin daerah, baik bupati/walikota maupun gubernur oleh DPRD merupakan kemunduran demokrasi.
“Kami sangat tidak sepakat, makanya harus kita tolak,” tegas Azis, Rabu malam, 10 September 2014.
Kemunduran demokrasi yang dimaksud Azis, itu adalah rakyat tidak bisa menentukan siapa pemimpin yang dikehendakinya. Azis tidak yakin jika pilkada diserahkan pemilihannya kepada dewan, lantas akan menghapus korupsi yang berkaitan dengan pilkada.
Bahkan, kata Azis, sebaliknya praktek korupsi kian merajalela dan menyasar elit politik. “Tidak ada jaminan politik uang akan hilang manakala pemimpin daerahnya dipilih DPRD. Ongkos politiknya terlalu tinggi,” katanya.
Konsekuensi lain dari pilkada dipilih dewan adalah menjauhkan masyarakat dengan calon pemimpinnya. Kepala daerah justru akan lebih loyal kepada partai atau DPRD. Pemahaman tentang figur seorang pemimpin yang baik, jujur, dan peduli terhadap rakyat diseret ke gedung dewan, dan ditafsirkan sesuai kecenderungan atau kepentingan politisnya.
“Karena itu rakyat harus bergerak cepat dan massif menolak demi kedaulatannya memilih pemimpin,” tandasnya.
Politisi muda yang juga ketua Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia (Rabithah Ma’ahid Islamiah/RMI) Kota Probolinggo ini menilai, pilkada tak langsung membuat semangat demokrasi yang esensinya melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan, berpindah ke tangan elit.
“Yang muncul dominan nantinya adalah kepentingan partai dan kelompoknya. Dengan rakyat, figur (pemimpin) jadi jauh,” tandas pria yang tengah menyelesaikan studi master di Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Alasan Pilkada dikembalikan ke DPRD demi efesiensi, menurut Azis sangat tidak kuat. Menurutnya, langkah efisiensi bisa dilakukan dengan merubah mekanisme dan tata cara pemilihannya, bukan merubah sistemnya. Misalnya pilkada dilaksanakan secara serentak.
“Kalau tidak bisa semua jangan ditinggal semua,” ujarnya dengan menukil dalil kaidah fiqih.
Pilkada langsung, kata Azis, bukan hanya keterlibatan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya, melainkan juga mengajarkan masyarakat akan tanggungjawab dalam bernegara dan berbangsa.
“Sehingg berujung pada terciptanya kemandirian politik dan ekonomi,” pungkasnya. (hay)