Fiqih Muhammadiyah itu Sama dengan NU

Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan
Penulis : Muchammad Ali Shodiqin
Cetakan : 2014
Penerbit : Noura Books, Jakarta
Halaman : XXII + 309 Halaman
Peresensi : Fariz Alniezar

NAHDLATUL Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah ormas Islam terbesar di Indonesia. Bisa dikatakan di luar kedua organisasi tersebut ada ormas keagamaan namun kecil sekup dan massanya.

Yang menarik dari pertumbuhan serta perkembangan NU dan Muhammadiyah hampir dipastikan selalu mengalami gesekan-gesekan. Dinamika yang wajar dan lumrah terjadi selama masih dalam bingkai serta spirit yang sama dalam memegang ideologi demi mensejahterahkan umat.

Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, sedangkan NU oleh KH M Hasyim Asy’ari. Kedua organisasi ini didirikan ditujukan demi mengemban misi menyebarkan Islam yang ramah,, rahmatan lil alamin dan yang paling utama berlandaskan haluan Ahlussunnah wal jamaah. Islam yang sesuai dengan lokalitas serta budaya setempat.

Muhammadiyah sebagai saudara lebih tua yang lahir di tahun 1912 ternyata “masuk angin” paska wafatnya sang pendiri. Muhammadiyah mulai disusupi Wahabisme, sebuah ajaran yang mengajak umat muslim untuk bersikap puritan. Wahabi masuk sedemikian sublim ke dalam tubuh Muhammadiyah dan mulai berhasil membelokkan misi Islam ahlussunnah wal jamaah itu menjadi Islam yang berjargon “kembali ke Al-Quran dan Hadist”.

Beberapa ulama pun merasa resah dengan perubahan “kiblat” serta tujuan didirikannya Muhammadiyah tersebut, terutama ulama-ulama dari pesantren. Dimotori oleh KH M Hasyim Asy’ari bersama sejumlah kiai pesantren akhirnya mendirikan organisasi baru di tahun 1926. Yakni NU.

Persoalannya jelas bahwa NU lahir untuk merespon Muhammadiyah yang pindah “kiblat”. Terlebih kala itu di tengah gemuruh perang dunia kedua, isu ideologi begitu seksi. Negara-negara Barat berkepentingan untuk menanamkan ideologinya. Termasuk bagaimana caranya agar Islam tidak perkembang. Dan salah satu caranya dalah dengan memutus “silaturrahim” antara umat dengan Rasulnya.

Nah, Wahabi adalah alat barat yang dipakai untuk memutuskan silaturrahim tersebut dengan cara membuat mitos dan doktrin, diantaranya bahwa ziarah kubur adalah bidah.

Demikianlah sejarah awal berdiri kedua organisasi besar tersebut sampai akhirnya keduanya bisa bertahan sampai usia yang tidak mudah lagi. Berusia hampir satu abad. Persoalnnya kemudian yang terjadi belakangan, setidaknya dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir, dua organisasi besar tersebut lebih disibukkan oleh perseolan-persoalan khilafiah, yaitu masalah furuiyah fiqih.

Gesekan yang sesungguhnya sangat patut disayangkan, mengungat masih bayaknya agenda yang lebih penting dan utama menunggu untuk diselesaikan, kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan ekonomi adalah setidaknya tiga problem besar yang semestinya kedua ormas tersebut bisa ikut andil untuk menyelesaikannya.

Dalam konteks ini, buku “Muhammadiyah itu NU” karya Muchammad Ali Shodiqin ini menjadi alternatif dan angin segar bagi kedua ormas tersebut. Buku ini coba menguak fakta sejarah tentang apa sebenarnya yang selama ini diperdebatkan antara NU dan Muhammadiyah.

Buku ini mendedahkan fakta bahwa fiqih yang selama ini menjadi perdebatan antara NU dengan Muhammadiyah sesungguhnya jika dikaji secara historis mestinya tidak ada dan tidak diperlukan. Di samping menguras energi serta konsentrasi organisasi, perdebatan itu sesungguhnya bukanlah hal yang serius.

Buku ini membuktikan bahwa fiqih yang dipedomani oleh Muhammdiyah (zaman KH Dahlan masih hidup) sama persis denga fikih yang hari ini dipedomani oleh NU. Perubahan arah fiqih Muhammadiyah memang baru terjadi setahun setelah KH Ahmad Dahlan meninggal, yakni tahun 1925.

Secara garis besar menurut Shodiqin perubahan fikih itu dibagi menjadi tiga fase yakni masa Syafi’I (1912-1925), masa pembaharuan Syafi’i-Wahabi (1925-1967), dan masa Himpunan Putusan Tarjih (1967-1995).( Hal.16)

Pada kurun waktu 1926-1995 itulah Muhammadiyah mulai banyak bermetamorfosis serta mengalihkan “kiblat” fiqihnya. Banyak sekali perubahan-perubahan hukum yang terjadi dan itu semua melenceng dari kitab fiqih yang pernah diterbitkan pada saat KH Ahmad Dahlan masih hidup. Kitab fiqih tersebut adalah kitab fikih jilid III yang diterbitkan tahun 1924. (Hal. 95)

Buku ini memuat 35 perubahan putusan dari kitab fiqih tersebut. Dan celakanya 35 putusan itulah yang menjadi perdebatan yang mengapung dan mengkristal antara NU dan Muhamdiiyah sampai hari ini. Perdebatannya masih sekitar qunut, jumlah rakaat salat tarawih, dan juga penentuan awal bulan.

Buku ini menarik untuk dijadikan bahan renungan dan landasan historis-sosiologis mengenai asal muasal perdebatan sengit NU dan Muhammadiyah. Labih menariknya lagi buku ini juga menyinggung sedikit faktor makro dan agenda dunia tentang politik adu domba yang mempunyai target agar kedua ormas besar di Indonesia tersebut jangan sampai bergandengan tangan.

Kekurangan buku ini terletak pada kurang tajam dan mendalamnya eksplorasin penulis dalam menjelaskan bagaimana campurtangan dunia internasional yang berkepentingan mencerai-beraikan kedua ormas tersebut. Hal itu terlihat dari mininmnya referensi dan data yang digunakan di buku ini.

Alur berfikir penulis juga masih terlihat sporadik dalam menganalisis perubahan putusan fikih Muhammdiyah, itu terlihat dari kekurang fokusan penulis saat pengupas satu demi satu masalah yang jadi perdebatan antara NU dan Muhammadiyah. Kekurang fokusan itu sedikit banyak menggangu alur pemahaman pembaca.

Namun terlepas dari kekurangan serta kelebihannya, buku yang ditulis oleh aktivis Muda Muhammadiyah ini menjadi beda dengan buku lain karena sudah berani membuka perspektif baru, mendedahkan fakta baru bahwa fiqih Muhammadiyah itu sama dengan fiqih NU. (*)

Fariz Alniezar, Dosen STAINU Jakarta.

Terkait

Buku Lainnya

SantriNews Network