Merayakan Keindonesiaan (14): Memaafkan tapi Tidak Melupakan Pengkhianatan

Di usia 76 tahun Indonesia merdeka telah banyak peristiwa penting yang terjadi, baik kisah kebersamaan maupun pertikaian sesama anak bangsa. Ibu Pertiwi menangis menyaksikan anak keturunannya bertikai saling membunuh demi kekuasaan.
Tragisnya, pemilu tak cukup untuk bertarung dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Ada sekelompok anak negeri yang sampai-sampai mengangkat senjata. Memberontak pada pemerintahan yang sah. Perang saudara tak bisa dihindari. Konflik berdarah menjadi catatan hitam perjalanan bangsa.
Betapapun perang saudara dalam studi lintas sejarah dunia, yang menyebabkan kehancuran sebuah negara. Keruntuhan imperium Kerajaan Sriwijaya dan Mojopahit berlatar perebutan tahta antar keluarga kerajaan sendiri. Sulit negara hancur akibat serangan dari negara luar.
Berbagai catatan sejarah yang sampai pada kita merupakan narasi peristiwa yang berisi kejadian penting yang berhubungan dengan sekelompok orang atau bangsa, terdiri dari runut waktu dan peristiwa, hubungan sebab akibat dari kejadian, serta dampak bagi masa depan bangsa itu sendiri.
Biasanya, catatan sejarah itu ditulis oleh pemenang. Pendapat ini dikuatkan oleh pandangan Perdana Menteri Britania Raya yang berkuasa pada 1940-1945, Winston Churchill (1874-1965). Ia mengatakan: History is written by the victors.
Buku sejarah yang dipelajari di sekolah maupun perguruan tinggi, pasti bias kepentingan rezim penguasa yang membangun narasi glorafikatif untuk menghegemoni alam bawah sadar seluruh anak bangsa. Keinginan untuk dikenang, dan diingat sepanjang sejarah sebagai orang berjasa, yang telah mengaburkan otentifikasi historiografi. Para sejarawan pun semakin melegitimasi catatan sejarah tersebut sebagai materi paling sahih.
Sejarah sosial masih relatif langka. Apalagi buku peristiwa perlawanan bersenjata dari anak negeri, nyaris tak ada. Yang ada buku pemberontakan yang ditulis berdasarkan versi pemerintah. Seperti sejumlah buku berikut ini:
Pertama, buku karya David Charles Anderson yang berjudul “Kudeta Madiun 1948, Kudeta atau Konflik Internal Tentara?”
Kedua, buku Dinas Sejarah TNI AD yang berjudul “Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan Penumpasannya”.
Ketiga, buku Barbara Sillars Harvey yang berjudul “Permesta, Pemberontakan Setengah Hati”.
Keempat, buku Petrik Matanasi yang berjudul “RMS, Republik Militer (Para) Sersan”.
Kelima, buku Arswendo Atmowiloto yang berjudul “Pengkhianatan G30/S PKI”.
Berbagai judul buku di atas sekadar ilustrasi bahwa peristiwa konflik bersenjata antar anak bangsa rerata ditulis oleh pemenang. Ini terbukti dengan penggunaan diksi “kudeta”, “pemberontakan”, “pengkhianatan” dan lain sebagainya. Suatu kata yang menunjukkan standing position dan sudut pandang dari kelompok pemenang yang berkuasa. Tentu beda halnya, bila dalam konflik bersenjata antar anak bangsa dimenangkan oleh kelompok separatis di atas, ceritanya pasti lain.
Dalam konteks Aceh dan Papua misalnya, konflik bersenjata yang berakhir damai dan sedang berlangsung, pemerintah menggunakan diksi yang berbeda. Ini tampak dari penggunaan diksi dari MR SM Amin menulis buku berjudul “Memahami Sejarah Konflk Aceh”.
Begitu pula terlihat pada penggunaan diksi Frans Pekey yang menulis buku berjudul “Papua Mencari Jalan Perdamaian, Telaah Konflik dan Resolusi di Bumi Cendrawasih”.
Jadi sangat jelas, pengkhianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditempatkan dalam narasi sejarah, tergantung dari sudut mana melihatnya. Bagi penguasa, setiap perlawanan apalagi perlawanan bersenjata terhadap pemerintah berkuasa, pasti dicap “pemberontak”. Namun bagi kelompok yang kontra pemerintah, menganggap dirinya “pejuang”.
Perbedaan pemberontak dan pejuang dalam sejarah sangatlah tipis, setipis kulit bawang. Begitu sangat tipis sekali. Persepsi sejarah terhadap mereka bergantung pada ending akhir dari konflik itu sendiri. Dianggap pemberontak bila kalah, dan dianggap pejuang bila menang.
Sesungguhnya, anak bangsa yang menggunakan kekerasan senjata dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan, keduanya nyata-nyata telah berkhianat terhadap konstitusi negara. Sebab, negara tak melarang siapapun dari kelompok manapun untuk merebut kekuasaan. Asalkan menggunakan mekanisme pemilu yang dijamin oleh UUD 1945.
Kelompok kanan atau kelompok kiri, tak ada halangan berkuasa dan mengendalikan pemerintahan. Senyampang, mereka memenangkan suara rakyat. Memaksakan kehendak dan menggunakan kekerasan apalagi kekerasan bersenjata, justru kontraproduktif bagi perjuangan ideologis dan politis dalam menguasai republik ini.
Siapapun tak diuntungkan oleh konflik bersenjata, kecuali menimbulkan kebangkrutan moral kemanusiaan atas korban yang berjatuhan. Pemerintah maupun kelompok anti-pemerintah sama-sama mengalami kerugian secara moril dan materil. Padahal jalan damai kekuasaan terbuka lebar bagi yang bercita-cita untuk membangun negeri tercinta ini.
Sejarah kelam dalam perjalanan hidup bangsa harus disikapi seperti lagunya The Corrs “Forgiven but not forgotten” (dimaafkan bukan dilupakan). (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.