RUU HIP Diusulkan PDIP

Jakarta – Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang belakangan mengundang pro-kontra atau polemik di masyarakat awal mula diusulkan oleh Fraksi PDI Perjuangan.

Hal ini diakui Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam webinar berjudul “Jas Merah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Ciptakan Sejarah Positif Bagi Bangsa” dalam Rangka Peringatan Bulan Bung Karno 2020, Ahad malam, 28 Juni 2020.

Sejak awal mengemuka, RUU HIP menuai penolakan dari banyak pihak. Sebab, RUU tersebut dianggap mendegradasi Pancasila sebagai ideologi Negara, melumpuhkan unsur Ketuhanan pada sila pertama Pancasila. Bahkan, dinilai secara terselubung dan berpotensi membangkitkan komunisme.

Terkait penolakan itu, Hasto menegaskan, PDIP membuka dialog dengan siapapun. Sebab, RUU HIP saat ini masih berupa rancangan, sehingga bisa diubah.

“Maka dengan adanya rancangan undang-undang yang kami usulkan, PDI Perjuangan tentu saja membuka dialog. Kami selalu bermusyawarah, PDI Perjuangan bukan partai yang menang-menangan,” kata Hasto.

Pernyataan Hasto ini menjawab teka-teki soal fraksi pengusul RUU HIP tersebut. Selama ini fraksi-fraksi di DPR RI, terutama di Badan Legislasi (Baleg), enggan mengungkap fraksi yang mengusulkan aturan itu. Mereka hanya menyebut RUU HIP adalah inisiatif DPR.

Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo menegaskan sama sekali tidak menginisiasi RUU tersebut.

Adalah anggota Panitia Kerja RUU HIP dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron yang awal mula menyebut Fraksi PDIP di DPR RI sebagai inisiator rancangan perundangan itu.

RUU ini masuk dalan Prolegnas dan prioritas 2020 yang tentu diusulkan, ada inisiatornya kita tidak perlu menyebutkan,” kata Herman saat menjelaskan perjalanan RUU HIP dalam webinar yang digelar Partai Demokrat, Jumat, 26 Juni 2020.

“Kenapa tidak disebutkan, Mas?” kata moderator Munawar Fuad menyela.

“Sudah jadi rahasia umum toh? Fraksi PDI-Perjuangan,” Herman menjawab lugas.

Dalam kesempatan itu, Herman juga menjelaskan sikap Fraksi Partai Demokrat konsisten menolak RUU HIP sejak awal. Ia mengaku sempat mengikuti dua dari tujuh pembahasan RUU HIP.

Herman menyampaikan Demokrat menarik diri karena tak pernah diberi kesempatan menyampaikan pendapat, baik dalam Rapat Panja hingga saat Rapat Paripurna, Selasa, 12 Mei 2020.

“Partai Demokrat menarik diri atas situasi yang begitu cepat. Argumentasi kita tidak pernah kemudian menjadi perhatian khusus. Bukan hanya Demokrat, banyak fraksi yang juga melakukan bagaimana mengkritisi konteks RUU ini,” tuturnya.

Hasto menambahkan, selama ini ada pihak-pihak yang menunggangi isu RUU HIP dengan menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai yang ingin merubah Pancasila menjadi ekasila dan trisila.

“Tidak etis untuk mengatakan bahwa trisila atau ekasila bukan usulan dari PDI Perjuangan. Tetapi kita melihat bahwa itu dulu adalah suatu gagasan otentik dari Bung Karno,” ujarnya.

Ia menjelaskan, gagasan ekasila dan trisila muncul saat ketua BPUPKI Radjiman Wedyoningrat meminta Bung Karno untuk menyampaikan gagasannya terkait dengan dasar negara Indonesia.

Lalu Bung Karno mengajukan tiga alternatif, yaitu, pancasila, trisila atau ekasila yang merupakan intisari kepribadian bangsa Indonesia yakni gotong-royong.

“Tetapi itu adalah suatu perjalanan sejarah kita sebagai bangsa. Untuk itu hendaknya jangan ditunggangi kepentingan politik, karena PDI Perjuangan, kita yang paling kokoh di dalam jalan Pancasila itu. Kita enggak mungkin merubah pancasila karena itu digali Bung Karno,” tegasnya.

Di sisi lain, saat ini, ia menyebut PDI Perjuangan setuju agar nomenklatur RUU HIP diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Hal ini, kata dia, untuk mengatur dan memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

“Terkait dengan RUU HIP. PDI Perjuangan setuju untuk dirubah menjadi RUU pembinaan ideologi pancasila. Mengapa? yang namanya pramuka saja ada UU-nya, arsip nasional ada UU, BNN ada UU. Masa kita tidak jaga ideologi yang otentik digali dari bumi Indonesia,” ujarnya.

RUU HIP menjadi polemik sejak beberapa hari terakhir. Ada beberapa poin yang dipersoalkan sejumlah pihak.

Pertama, TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang Pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Ajaran Komunisme, Marxisme, Leninisme tidak dijadikan peraturan konsideran. Sejumlah fraksi partai politik menilai TAP MPRS tersebut perlu dimasukkan dalam bagian menimbang.

Kedua, ada pasal dalam RUU HIP yang mengatur tentang Trisila dan Ekasila. Sebagian pihak merasa Pancasila dikerdilkan, sehingga menolak keberadaan pasal tersebut. (us/red)

Terkait

Politik Lainnya

SantriNews Network