Muktamar NU
Tiga PCNU Jatim Tolak Sistem Ahwa, Ini Alasannya
Surabaya – Tiga Pimpinan Cabang Nahlatul Ulama (PCNU) di Jawa Timur menolak rencana diberlakukannya pemilihan Rais Am maupun Ketua Umum PBNU melalui mekanisme ahlul halli wal Aqdi (Ahwa) yang akan diberlakukan dalam Muktamar NU ke-33 pada Agustus 2015 mendatang.
Penolakan tersebut karena mekanisme itu bertentangan dengan semangat demokrasi dan mengebiri hak-hak cabang dan wilayah. Tiga PCNU itu masing-masing Kabupaten Malang, Kota Batu dan Gresik.
‘‘Lagi pula tidak ada alasan yang mendesak untuk memakai konsep ahlul halli wal aqdi dalam muktamar NU mendatang itu,’‘ kata Ketua PCNU Kabupaten Malang KH Bibit Suprapto, Senin 19 Januari 2015.
Menurut Bibit, sepanjang sejarah berdirinya NU, menkanisme pemilihan lewat instrumen Ahwa hanya sekali saja dipakai yaitu pada Muktamar NU ke-27 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus, Situbondo, Jawa mlmTimur.
Ketika itu para kiai sepuh, setidaknya karena dua hal sehingga meniscayakan mekanisme Ahwa harus diberlakukan. Pertama, karena kepemimpinan DR KH Idham Kholid harus diberhentikan karena sudah terlalu lama memimpin NU. Untuk memberhentikan Kiai Idham tidak mungkin dengan mekanisme pemilihan langsung, karena begitu kuat dan mengakarnya Kiai Idham di dalam percaturan kepemimpinan NU.
‘‘Kiai Idham menjadi Ketua Umum PBNU sejak tahun 1956 sampai tahun 1984. Sejak Indonesia merdeka sampai kemimpinan Kiai Idham berakhir NU menjadi Parpol, padahal situasi politik ketika itu tidak menguntungkan NU sama sekali. Sehingga NU kalau mau keluar dari partai politik, ya harus menghentikan Kiai Idham. Sementara mayoritas kiai di NU sudah menginginkan NU tidak jadi Parpol lagi. NU harus kembali ke organisasi kemasyarakatan dan keagamaan,’‘ papar Bibit.
Kedua, alasan yang juga menguat waktu itu adalah kemauan politik nasional, yaitu tentang diberlakukannya azas tunggal Pancasila oleh rezim Orba. Pemilkiran politik elit nasional hampir sama dengan mainstream ulama NU waktu itu, yaitu perlunya penegasan azas tunggal Pancasila. Itu semua demi menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.
‘‘Jadi itu demi kokohnya NKRI, karena waktu itu akibat banyaknya friksi politik akan mengancam NKRI. Alat yang ampuh untuk meredam semua itu adalah Pancasila,’‘ tegas Bibit.
Menurut Bibit, sebenarnya konsensus untuk memberlakukan Ahwa sudah muncul dalam Muanas Alim Ulama pada tahun 1983. Waktu itu wacana Ahwa sudah matang dibicarakan, karena memang para ulama sepakat perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926 seperti saat berdirinya sebagai gerakan Islam Ijtima’iyah Diniyah.
Hal senada diungkapkan Ketua PCNU Gresik KH Khusnul Khuluk. Menurut dia, perlunya tetap memakai pemilihan secara langsung sebagaimana diatur oleh AD/ART NU sendiri yang sudah disepakati dalam Muktamar NU ke-32 itu, semata-mata karena pemilihan langsung itu lebih mencerminkan watak demokratis.
‘‘Kita menginginkan dalam muktamar nanti supaya cabang dihargai hak-haknya, dengan memilih secara langsung pimpinan tertinggi NU hal itu berarti sangat menghargai hak-hak cabang. Kita harus khusnudhan pada cabang-cabang bahwa mereka akan amanah memilih pemimpinnya dengan cara yang jujur dan bermartabat,’‘ tegas kiai yang pernah menjadi Sekda Kabupaten Gresik ini.
Dikatan Kiai Khuluk, jika ada pihak yang mengkaitkan pemilihan langsung dengan kasus riswah (menerima sogokan), maka pikiran itu keluar dari pikiran yang kurang baik. ‘‘Jangan suudhon pada cabang-cabang, karena pemilihan langsung itu sudah berlaku lama di NU. Kalau ada pikiran pilihan langsung itu berkorelasi dengan riswah, itu berarti sudah berprasangka buruk pada kami yang ada di cabang-cabang,’‘ papar Kiai Khuluk.
Rais Syuriah NU Kota Batu juga mengamini pendapat dari Kiai Bibit maupun Kiai Khusnul. Menurut ia, masalah riswah tidak bisa dengan serta merta dikaitkan dengan instrumen pemilihan Ahwa atau pilihan langsung. Persoalan itu menjadi debatebel dan sebaiknya dikembalikan kepada AD/ART saja, yaitu pilihan langsung. Karena hal itu lebih mencerminkan sikap demokrasi dan kejujuran dalam memilih pemimpin. (jaz/onk)