Merayakan Keindonesiaan (11): Mengubah Ancaman Menjadi Peluang
Pemakaman jenazah pasien Covid-19
Banyak bermunculan ramalan terhadap masa depan Indonesia, baik dari tokoh luar maupun dalam negeri sendiri. Seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, dan lain sebagainya.
Di hadapan para pemimpin Badan Intelijen AS pada 27 Juli 2021, Biden meramalkan Jakarta akan tenggelam pada 10 tahun mendatang. Ibu kota negara Indonesia akan tergenang banjir rob lantaran peningkatan permukaan air laut. Sebuah akibat dari global warming (pemanasan global) yang berlatar perubahan iklim yang ekstrim.
Pemanasan global berdampak pada peningkatan suhu bumi rerata naik 1 derajat celcius sejak abad ke-19, serta gunung es di Benua Antartika yang pecah dan hanyut ke samudera.
Pemanfaatan air bawah tanah juga ikut memperburuk kondisi lingkungan hidup. Satu sisi permukaan tanah terus menurun. Sementara, di sisi lain permukaan laut terus naik. Banjir menjadi ritual tahunan dan menjadi cerminan dari kegagalan pemerintah dalam pembangunan lingkungan hidup.
Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Heri Andreas, sesungguhnya berpotensi tenggelam bukan hanya Jakarta seperti ramalan Biden, tapi ada 112 daerah yang berpeluang mengalami nasib yang sama. Diawali dari Pekalongan, Demak kemudian Semarang. Daerah-daerah di Provinsi Jawa Tengah mengalami land subsidence (penurunan permukaan tanah) 6 cm per tahun. Ada data ekstrim menyebutkan angka penurunan permukaan tanah di sana 15-20 cm per tahun.
Ancaman ekologis di atas ditambah dengan ancaman pandemis. Ibas meramalkan Indonesia menjadi failed nation (bangsa gagal) akibat pemerintah tak bisa menyelamatkan rakyat dari pandemi Covid-19.
Setiap hari kasus infeksi baru terus bertambah dan korban yang meninggal juga terus bertambah pula. Kini sudah tercatat 3,7 juta positif, 3,2 juta sembuh dan 112 ribu meninggal dunia. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan program vaksinasi belum efektif mengendalikan penularan Virus Corona.
Yang ironis, lonjakan jumlah kasus baru dan meninggal akibat Covid-19, lebih dari 50 persen terjadi pada penerapan kebijakan PPKM Darurat dan percepatan program vaksinasi. Kondisi ini menyulitkan ikhtiar untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap segala usaha dan upaya berdamai dengan Covid-19.
Krisis kesehatan belum ada tanda-tanda akan selesai. Malah telah menyeret Indonesia pada kebangkrutan ekonomi. Banyak perusahaan yang gulung tikar. Dan banyak pula karyawan yang telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di samping itu, ancaman ekologis dan pandemis, diperparah oleh gerakan politis untuk melengserkan pemerintah yang berkuasa. Ramalan Prabowo bahwa Indonesia akan bubar pada 2030, tampak dari maraknya social distrust (ketidakpercayaan sosial) antar pemerintah dan rakyat.
Pidato Prabowo yang diunggah di akun Facebook Gerindra pada 18 Maret 2018 tersebut, diilhami oleh buku Ghost Fleet karya Peter Warren Singer dan August Cole yang merupakan novel fiksi. Bahwa ada skenario perang dunia antara AS dan China. Dan Indonesia pada waktu perang tersebut sudah tak ada lagi dalam atlas dunia.
Prabowo mengatakan: “Saudara-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini, tetapi di negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030,”
Kondisi di atas dikarenakan ketimpangan pembangunan nasional. Para elit tak mempersoalkan, 1 persen orang kaya oligarkhis menguasai 80 persen tanah negara. Ketimpangan penguasaan sumberdaya alam, oleh mereka dianggap lumrah dan kaprah. Banyak rakyat justru tak punya hak milik atas sejengkal tanah sekalipun.
Semestinya, berbagai ancaman di atas dirubah menjadi peluang untuk merayakan keindonesiaan, antara lain melalui pembangunan lingkungan hidup, penanganan pandemi Covid-19 yang efektif serta pemerataan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
Moch Eksan, Pendiri Eksan Institute.