PBNU: Tak Gunakan Kitab Kuning Bukan Pesantren

Jakarta – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang hukum, HAM, dan perundang-Undangan, Robikin Emhas, menilai, definisi pesantren yang dirumuskan dalam RUU Pesantren sudah tepat dan benar.

Karena itu, definisi tersebut tidak perlu diubah. Rumusan itu telah memenuhi aspek filosofis, sosialogis dan tradisi pesantren.

Menurut Robikin, terdapat lima unsur pokok untuk dapat dikategorikan sebagai pesantren. Yaitu ada kiai, santri, masjid atau mushala, pondokan atau asrama, dan kitab kuning.

“Kurang satu unsur saja, maka tidak bisa disebut sebagai pesantren,” kata Robikin dalam keterangannya, Jumat 20 September 2019.

Karena itu, menurut dia, lembaga pendidikan yang tidak menggunakan kitab kuning berarti bukan pesantren.

“Kitab kuning adalah salah satu elemen pokok pesantren. Tanpa kitab kuning tidak bisa dikualifikasi Pesantren. Silakan saja disebut boarding school atau apa,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, definisi pendidikan pesantren dalam RUU Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan berbasis pada kitab kuning, dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

RUU Pesantren telah disepakati oleh Komisi VIII DPR dan pemerintah melalui Kementerian Agama pada rapat kerja di Komisi VIII, pada Kamis, 19 Septmeber 2019. Dengan demikian, RUU tersebut selanjutnya akan dibawa ke rapat peripurna untuk disahkan.

Dukungan pengesahan RUU Pesantren salah satunya datang dari Ponpes Darunnajah. Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshur Darunnajah Cabang 3 Banten, KH Busthomi Ibrohim.

Ia mengatakan, Pondok Pesantren Darunnajah mendukung pengesahan RUU Pesantren. Menurutnya, RUU itu telah mengakomodir pondok pesantren Darunnajah.

Kiai Busthomi juga menilai, RUU itu bentuk pengakuan pemerintah terhadap keberadaan pesantren. “Sebagaimana pondok yang lain, sebagaimana pondok yang menggunakan sistem mu’allimin. RUU itu sangat menguntungkan pondok (pesantren)” imbuhnya.

Bagi dia, definisi pesantren yang tercantum dalam RUU Pesantren sudah cukup. “Kalau ada satu-dua kata yang belum pas, itu manusiawi. Misalnya mengapa menggunakan kalimat kitab kuning, ini debatable sejak dulu,” ujarnya.

Menurut Kiai Busthomi, tiga kata yang tercantum dalam definisi pesantren pada RUU Pesantren, secara implisit telah mewadahi berbagai bentuk pondok pesantren. Tiga kata yang dimaksud, yaitu kitab kuning, mu’allimin dan dirasat islamiyah.

“Teman-teman di NU (Nahdlatul Ulama), pondok pesantrennya dengan kitab kuning, teman-teman seperti Gontor itu juga mu’allimin, Muhammadiyah juga mu’allimin. Teman-teman yang tidak mu’allimin dan tidak kitab kuning, semacam pondok tahfiz, masuk ke dalam dirasat islamiyah, kan juga kajian keislaman,” paparnya. (us/onk)

Terkait

Nasional Lainnya

SantriNews Network